Kegandrungan penyelenggara kekuasaan, eksekutif dan legeslatif, membuat aturan hukum agak mengherankan. Banyak “persoalan” yang bersifat wacana diikuti dengan mengubah atau membuat peraturan atau undang-undang baru. Misalnya revisi UU KPK, RUU Ketahanan Keluarga, RUU KUHP, RUU Omnibus Ciptaker, RUU Minerba, RUU HIP dan sebagainya. Elit politik Indonesia mengira persoalan perilaku bisa diatasi dengan membuat hukum atau member sanksi, dan warga akan menuruti. Ini adalah pola pikir feodal dan otoriter. Dalam paradigma hukum modern ancaman sanksi tidak selalu efektif untuk mengatur manusia. Alternatif sanksi hukum adalah pemberian insentif atau penyelesaian melalui dialog dan mediasi. Sanksi hukum tidak akan efektif jika penyelenggara tidak taat hukum (korup) dan belum siap. Apa sebenarnya motif kegetolan elit politik Indonesia membuat aturan hukum? Benarkah karena ingin menegakkan slogan “negara berlandaskan hukum”, sekedar proyek politik, atau mengambil jalan termudah untuk mengontrol warga?
Narasumber: Bivitri Susanti, Pengajar STH Jentera.