Kondisi politik dan sosial sedang dilanda masalah dengan maraknya politik identitas. Indonesia dengan keragaman budaya, lebih dari 17 ribu pulau, ribuan bahasa, dan ratusan suku bangsa, adalah salah satu bangsa “melting pot” terbesar di dunia. Namun keragaman ini juga menjadi tantangan bagi semangat pluralisme dan toleransi. Narasi ke-Indonesiaan masih kental dengan sentimen kesukuan, ras, agama, golongan, termasuk politik perkubuan. Keragaman yang patut dirayakan, berpotensi menjadi persoalan jika dibenturkan untuk tujuan politik pragmatis sesaat. Politik identitas adalah antitesa dari semangat kemajemukan, menyebarkan sentimen kepicikan yang tidak sesuai dengan demokrasi modern. Ironisnya gejala politik identitas justru muncul pada era demokrasi pasca-reformasi, dan belakangan semakin menguat dengan penggunaan platform internet dan media sosial. Elite politik mengeksploitasi sentimen identitas, keagamaan, “putra daerah”, sebagai komoditi untuk menggalang dukungan dan memenangkan ambisi politiknya. Bagaimana situasi politik identitas menjelang berlangsungnya pemilihan kepala daerah serentak yang akan dilaksanakan akhir tahun ini atau tahun depan, juga pada pemilihan presiden 2024?
Narasumber: Jacklevyn "Jacky" Frits Manuputty, Pegiat Dialog Lintas Agama, Dewan Pengurus Yayasan Tifa.