Camus membuka Mitos Sisifus dengan klaim bahwa bunuh diri tidak boleh dilakukan. Show must go on. Kematian prematur hanya akan menghentikan potensi kehidupan yang penuh kegembiraan abadi. Di hadapan absurdisme, memang hanya tersaji dua opsi: bertahan atau mati. Opsi terakhir ditentang Albert Camus. Bunuh diri, ujar pria Aljazair itu, ialah pengakuan bahwa hidup tak terpahami dan terlalu berat buat dipikul. Pengakuan itu tidak layak dibarter dengan nyawa.
Absurdisme, sebagaimana yang bisa saya tangkap, ialah keinginan manusia untuk menghendaki adanya makna untuk dunia ini yang kehendak itu hanya akan terbentur oleh kesia-siaan sebab makna yang dituju itu ternyata tak ada. Tidak ada makna di dunia ini. Kalaupun ada, satu-satunya makna adalah ketiadaan makna itu sendiri.
Camus lalu mengajak kita menengok Sisifus, manusia yang dikutuk untuk mendorong batu ke pucuk bukit hanya untuk melihat batu itu tergelincir ke kaki bukit dan Sisifus harus mendorongnya lagi hanya untuk melihat peristiwa yang sama terjadi berulang kali. Ataukah kita Sisifus itu? Yang hidup dari 24 jam ke 24 jam yang berbeda, yang bekerja dari Senin ke Senin yang lain, yang mengulangi April demi April, pergantian kalender, tumbangnya waktu di luar jendela, sebagai rutinitas? Hidup untuk mati, makan untuk berak, bangun untuk tidur, dan seluruh siklus yang tak terputus itu berselirat-kelindan sebagai gumpalan benang berwarna merah