Dunia mengalami gempuran gelombang demokratisasi berkali-kali. Pertama abad ke-19 di mana negara-negara Eropa Barat mulai percaya sistem yang ditawarkan oleh deklarasi kemerdekaan Amerika. Saat itu, dua puluh sembilan negara menganut sistem demokrasi liberal. Gelombang kedua terjadi setelah Nazi retak sampai ke inti akarnya, jumlah negara demokratis bertambah dari dua puluh sembilan menjadi tiga puluh enam.
Kebebasan mengibaskan sayapnya selebar-lebarnya pada 1970-an sampai 2000-an di mana negara-negara memekarkan satu per satu dirinya menjadi taman demokrasi liberal di muka bumi. Enam puluh persen masyarakat dunia menikmati kemerdekaan menghirup oksigen di paru-paru mereka tanpa dikte siapa pun. Tapi lambat laun, ketidaksetaraan menjadi hantu yang diam-diam bersembunyi di belakangnya.
Fukuyama menyadari itu, dan demi mencegah End of History menjadi End of Fukuyama, dia lantas menggugat, dia merevisi satu per satu klaim yang ia ejawantahkan di sana. Dia memunggut satu per satu daun sakura yang gugur di belakang rambutnya yang menguban, lalu ia mempersoalkan kenapa hitam harus dilawankan dengan putih? Kenapa laki-laki harus dilawankan dengan perempuan? Kenapa agama harus saling berhadapan? Kenapa ada tagar #MeToo? Kenapa ada #BlackLivesMatter? Kenapa ada Aksi212? Kenapa ada politik identitas lainnya?