Listen

Description

(29 Maret 2020)

Romo Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

[Bacaan Injil : Yohanes 11 : 1 - 45 

(Hari Minggu Prapaskah ke-5)]

Diantara lima indra manusia, indra peraba [sentuhan] adalah yang paling dasar dan fondasi bagi indra yang lainnya. Indra penglihatan perlu bersentuhan dengan spektrum cahaya. Indra perasa perlu bersentuhan dengan bahan kimia dalam makanan. Sentuhan menjadikan kita manusia, makhluk yang bertubuh. Tidak heran jika banyak pengalaman traumatis [bahkan masalah mental] berakar pada sentuhan yang kurang diterima atau tidak seharusnya diterima. Tuhan, memahami kebutuhan mendasar kita akan sentuhan. Dalam memenuhi hasrat terdalam kita, Dia membuat pilihan radikal dan menjadi manusia seperti kita semua. Sebab Yesus adalah sungguh Allah dan sungguh manusia, karena para murid dapat melihat, mendengar, menyentuh, dan merasakan Dia. Namun, Dia memberi sesuatu yang lebih radikal dengan mempersembahkan diri-Nya sebagai makanan dan diminum, “karena dagingku adalah makanan yang benar dan darahku adalah minuman yang benar [Yohanes 6:55]”. Sementara para dewa berhala menikmati darah manusia dari menjadi korban, Tuhan kita melakukan yang sebaliknya. Dia menyerahkan hidup-Nya sehingga kita dapat hidup dan merasakan kasih-Nya. Mengikuti contoh Juruselamat kita, Gereja dipenuhi dengan sarana jasmani sebagai tanda dan simbol kehadiran ilahi. Tidak heran gereja-gereja kita dilengkapi dengan salib yang indah, dihiasi dengan bunga, dan diagungkan dengan lilin dan dupa. Sakramen adalah tanda yang terlihat dari rahmat yang tak terlihat dan sakramen bertujuan untuk menyentuh tubuh kita, seperti air dan minyak suci yang menyentuh dahi kita, hosti yang kita santap, dan kata-kata pengampunan yang perlu kita dengar. Bahkan, Gereja sendiri disebut sebagai tubuh Kristus dan panggilan kita adalah untuk bersatu sebagai satu umat Allah di sekitar meja Ekaristi ini. Namun, hal yang mengerikan menimpa Gereja kita. Pandemi yang disebabkan oleh Covid-19 pada dasarnya membalikkan gerakan dasar iman kita. Kita menghadapi kenyataan bahwa menyentuh dapat berarti penyakit, berkumpul dapat membawa bencana, dan ibadah dapat berarti kematian. Demi kebaikan umat, para pemimpin kita dipaksa untuk menutup gereja. Kita sekarang merasakan sakitnya perpisahan dari Tubuh Kristus. Mungkin, kita seperti Lazarus yang mengalami penderitaan dan kematian rohani atau seperti Marta yang bertanya kepada Tuhan,“seandainya Engkau datang, hal ini tidak perlu terjadi?” Mungkin, kita seperti Maria yang tidak bisa berbuat apa-apa selain berduka dan berdiam. Yesus tidak menyelamatkan Lazarus ketika dia sakit parah dan bahkan Yesus mengunjungi mereka setelah Lazarus meninggal empat hari. Kenapa Yesus membiarkan hal-hal buruk terjadi dalam kehidupan Lazarus, Marta, dan Maria? Apakah Yesus ingin menghukum mereka atau tidak peduli dengan mereka? Injil Yohanes menyatakan bahwa Yesus mengasihi Lazarus, Marta dan Maria sebagai sahabat dekat-Nya. Yesus mengizinkan hal buruk terjadi terhadap sahabat-sahabat-Nya justru karena Dia mengasihi mereka. Dalam kasih-Nya, Allah mengijinkan kita untuk merasakan Tuhan yang jauh dan mengalami penderitaan bahkan kematian. Tuhan tahu bahwa melalui penderitaan, kita dapat mencintai lebih dalam, kita tumbuh dalam iman, dan menemukan kembali Tuhan yang lebih hidup bahkan lebih dekat. Kita perlu mengingat bahwa tidak ada kebangkitan sejati, kecuali kita berani memasuki kegelapan makam.