Dibacakan oleh Febrian
Diambil dari bunga rampai Gema Tanah Air (1942-1948)
-
Trisno Sumardjo (lahir di Surabaya, 6 Desember 1916 – meninggal di Jakarta, 21 April 1969 pada umur 52 tahun) adalah seorang sastrawan, penerjemah, dan pelukis Indonesia. Sebagai penerjemah, ia banyak menerjemahkan drama William Shakespeare. Ia adalah ketua Dewan Kesenian Jakarta yang pertama dan salah satu penandatangan Manifes Kebudayaan.
Trisno tamat SMS-II Barat Klasik Yogyakarta pada 1937. Ia pernah bekerja sebagai guru swasta (1938-1942) dan pegawai jawatan Kereta Api (1942-1946). Sebagai redaktur, ia pernah bekerja di majalah Seniman (1947-1948), Indonesia (1950-1952), Seni (1954), dan Gaya (1968). Di bidang keroganisasian ia pernah menjadi sekretaris umum BMKN (1956), menjadi ketua pertama Dewan Kesenian Jakarta (1968-1969). Ia adalah ketua Delegasi Pengarang Indonesia ke RRC (1957). Tahun 1952 ia mengunjungi Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa Barat, dan tahun 1961 sekali lagi mengunjungi Amerika Serikat. Ia adalah salah satu penandatangan Manifes Kebudayaan. Selain di bidang penulisan, ia juga aktif di bidang seni rupa.
Bersama S. Sudjojono, ia mengawali sejarah kritik seni di Indonesia. Tulisan-tulisan kritik yang ia buat sangat cair, komprehensif, dan jujur. membahas baik negatif dan positif dari suatu karya. Pada tahun 1950-an Trisno pernah berdebat dengan Sudjojono tentang haluan seni rupa Indonesia. Dalam polemik tersebut, Trisno menanggapi anjuran Sudjojono pada seniman Indonesia untuk kembali pada realisme. Tanggapannya, "Rakyat kita tidak hanya mengerti realisme, melainkan juga cara-cara lain. Sebab, umumnya rakyat dari dahulu kala telah mengenal deformasi, baik dalam bentuk maupun warna. Perhatikan wayang-wayang kulit, relief-relief Borobudur, patung-patung serta lukisan Bali, dan sebagainya. Bukankah hal-hal yang ekspresif, stylistis, dan dekoratif di dalamnya itu jauh dari realisme?"
Pandangannya tentang seni rupa juga dituangkan dalam tulisan berjudul "Kedudukan Seni Rupa Kita" yang dimuat dalam Almanak Seni 1957 terbitan Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional. Di dalamnya ia menganjurkan agar perkembangan kreativitas serta perjuangan seni rupa tidak hanya terbatas pada kain kanvas. Fatwa ini menjadi ancang-ancang sikapnya untuk tidak mengutamakan satu bentuk seni rupa tertentu. Dia menyebut lapangan baru yang tidak semata kanvas itu antara lain membangkitkan karya cukilan kayu, etsa, ex-libris, fresco, patung, relief, monumen, keramik, arsitektur, tata kota dan sebagainya.
sumber: Wikipedia