Sejarah G30S layaknya kerikil di dalam sepatu yang selalu mengganggu. Untuk menghilangkannya, Indonesia seharusnya belajar dari Jerman dan Afrika Selatan. Jerman dengan sejarah Nazi dan Afrika Selatan dengan apartheidnya berhasil menyingkirkan kerikil sejarah sehingga berhasil menghilangkan luka dan dendam sejarah
Upaya menyembuhkan luka akan tragedi 1965 dimulai ketika DPR sepakati UU nomor 27 tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Komisi ini adalah lembaga independen yang dibentuk untuk mengungkapkan kebenaran atas pelanggaran hak asasi manusia yang berat dan melaksanakan rekonsiliasi. Namun, upaya menguak cerita dibalik tragedi 65 kandas, setelah Mahkamah Konstitusi memutuskan membatalkan UU tersebut dengan pertimbangan Rekonsiliasi dapat dilakukan dengan tindakan politik, dan Tidak harus melewati jalur hukum.
Upaya memulihkan luka itu kembali dilakukan di era Jokowi. 2019 lalu, Menko Polhukam Mahfud MD serahkan kembali RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Mahfud menerangkan, pemerintah menginginkan menyelesaikan masalah HAM masa lalu dengan mencari tahu kebenarannya yang kemudian direkonsiliasi. Mahfud menyebut pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) dimaksudkan untuk menyelesaikan persoalan HAM masa lalu yang mandek.
Luka yang membekas dan terpatri selama puluhan tahun bisa kembali terasa sakitnya dikarenakan belum sembuh sepenuhnya. Ditambah terus terulangnya tiupan-tiupan pihak yang hanya menginginkan pembalasan dendam ataupun menumpangi luka untuk kepentingan pribadi semata.
Perlukah kita membuka kembali catatan sejarah tahun 1965, yang bisa jadi menjadi gerbang terbukanya pintu rekonsiliasi hingga permasalahan trauma masa lalu diselesaikan demi masa depan bangsa yang lebih indah?