Keputusan pembatalan aturan kerahasiaan dokumen persyaratan Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden menimbulkan beragam tafsir. Di satu sisi, publik menyambut langkah ini sebagai kemenangan atas keterbukaan informasi—hak masyarakat untuk tahu kembali dipulihkan. Di sisi lain, langkah ini membuka risiko politisasi dan eksploitasi dokumen pribadi demi kepentingan politik praktis.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah: sejauh mana keterbukaan ini dapat menjaga demokrasi tanpa menimbulkan kegaduhan? Apakah transparansi benar-benar akan menghadirkan kepercayaan publik terhadap proses pemilu, atau justru menciptakan celah baru bagi serangan politik berbasis dokumen yang dipelintir?
Implikasinya jelas, bukan sekadar teknis administratif, tetapi menyangkut kepercayaan rakyat pada penyelenggara pemilu dan kualitas demokrasi itu sendiri. Di titik ini, publik perlu kritis, sementara KPU dituntut lebih tegas menyeimbangkan hak atas informasi dengan perlindungan data pribadi Capres-Cawapres.
[TALK] Pengamat Politik yang juga mantan Ketua KPUD Jawa Tengah, Joko Purnomo
&
Pengamat politik yang juga Mantan Anggota MPR RI, Jusuf Suroso