Perselingkuhan dilakukan atas persetujuan 2 orang, yakni perempuan dan laki-laki. Namun saat skandal perselingkuhan terbongkar, publik hanya menyalahkan perempuan sang pelakor. Dan kerap mewajarkan laki-laki saat berselingkuh. Kata pelakor yang booming sejak beberapa tahun lalu dianggap sangat cocok sebagai julukan untuk para perempuan yang menjadi selingkuhan. Padahal sejumlah media dan pengamat gender beranggapan kata pelakor justru menyudutkan kaum perempuan dan semakin mengamini bahwa hanya perempuan yang harus disalahkan saat terjadi perselingkuhan. Perempuan yang seharusnya menjadi korban justru diposisikan sebagai tersangka.