"Sebelum Aku membentuk engkau dalam rahim ibumu, Aku telah mengenal engkau, dan sebelum engkau keluar dari kandungan, Aku telah menguduskan engkau, Aku telah menetapkan engkau menjadi nabi bagi bangsa-bangsa." (Yeremia 1:5)
Renungan:
Pada suatu malam seorang gadis mengalami demam tinggi yang mengharuskannya dirawat di rumah sakit. Demam itu membuatnya koma selama 2 hari. Ketika tersadar, ia melihat semuanya gelap. Ia pun bertanya kepada dokter apa penyebabnya. Dokter pun menjawab, "Maaf, Nak, disaat koma saraf dari mata ke otak tidak berfungsi, sehingga menyebabkanmu buta seumur hidup." Jawaban itu melumpuhkan harapannya. Spontan ia berteriak histeris. Sejak itu ia merasa terpuruk. Hari itu ia memercayai lirik sebuah lagu yang berkata bahwa takdir memang kejam dan tak mengenal perasaan. Hari-hari pun dilalui dengan ratapan dan mengurung diri di kamar. Ia membayangkan kehidupan suram di depan sana. Selama setahun, ia tidak bisa menerima dan terus menangisi nasibnya. Namun kegetiran hidup itu seolah mencoba mencegahnya untuk melihat ke depan atau ke belakang, tetapi memandang ke atas. Di tengah keputusan itu, ia sering ngotot berdoa supaya mendapat mujizat. Suatu malam di tengah keputusan yang sudah diambang batas, hatinya begitu pilu tidak terkatakan. Dalam posisi tertidur dengan bantal yang basah oleh air mata, ia berbicara kepada Tuhan, "Tuhan, mengapa nasibku begini, mengapa engkau begitu kejam, mengapa Tuhan? Jika engkau tidak mau menyembuhkanku, aku mau mati saat ini. Tolong ambil nyawaku!" Tiba-tiba ada yang menggerakkannya untuk berlutut. Dia tak kuasa menolaknya dan lidahnya berkata-kata tetapi bukan dari keinginannya. Ungkapan itu berasal dari lubuk hati terdalam yang tak pernah terasa selama ini. Momen yang begitu indah. Seusai mengucapkan Amin, ada suara yang menyebut Yeremia 1:5. Seketika itu ia menyuruh kakaknya untuk membacanya. Ia heran karena sekali dibacakan, ia langsung bisa menghafal isi ayat itu. Sejak itulah semua keinginan untuk menyuruh Tuhan mencabut nyawanya dan keinginan bunuh diri hilang. Hatinya merasa tenang. Ia sadar bahwa hidupnya tidak berakhir di sini. Kisahnya belum berakhir. Ia memilih untuk melanjutkan hidup dengan keberadaannya apa adanya walau dengan keterbatasannya. Ia percaya pasti bahwa ia bisa mengikuti kuliah. Ia bersyukur karena para dosen dan teman-teman bisa menerimanya. Itu cukup membuktikan bahwa kabut kehidupannya bukanlah tempat perhentian, karena ia masih memiliki harapan dan hidup yang indah di depan sana, yang Tuhan rancang baginya dan harus diraihnya bersama dengan Tuhan.
Setiap orang pasti pernah mengalami kegagalan, yang seolah meruntuhkan harapannya. Tidak sedikit yang memilih untuk terus berjuang, namun banyak juga yang memilih untuk menyerah. Dikala kita merasa kehilangan kesempatan dan semangat, mungkinkah itu benar-benar hilang? Bukankah kita malah mendapatkan pengalaman yang baru? Benarkah keterpurukan adalah akhir perjalanan hidup? Tidak! Tuhan mampu bekerja secara ajaib bahkan dari sekian ribu keterpurukan kita, asal kita tetap berharap dan bertindak bersamanya. Tuhan Yesus memberkati.
Doa:
Tuhan Yesus, aku mohon teruslah menanamkan pengharapan di hatiku, sehingga apapun yang terjadi aku tetap percaya dan berharap kepadamu. Amin. (Dod).