Listen

Description

"Jika aku melihat langit-Mu, buatan jari-Mu, bulan dan bintang-bintang yang Kautempatkan: apakah manusia, sehingga Engkau mengingatnya? Apakah anak manusia, sehingga Engkau mengindahkannya?Namun Engkau telah membuatnya hampir sama seperti Allah, dan telah memahkotainya dengan kemuliaan dan hormat." (Mazmur 8:4-6)

Renungan:

   Bakhita dilahirkan pada tahun 1868 di sebuah desa di Darfur, Sudan, Afrika dalam sebuah keluarga kaya yang sangat mengasihinya. Pada umur 9 tahun ia diculik oleh para pedagang budak. Ia mengalami penghinaan dan penderitaan akibat perbudakan, baik secara fisik maupun secara moral. Ia sempat mengungkapkan keadaannya ketika tidak sengaja melakukan kesalahan, "Suatu hari saya tidak sengaja melakukan kesalahan yang mengakibatkan putra majikannya marah. Ia merengut saya dengan kasar dari tempat persembunyian saya dan mulai menghujani tubuh saya dengan cambuk dan tendangan kakinya. Akhirnya ia meninggalkan saya dalam keadaan sekarat, sama sekali tidak sadarkan diri. Beberapa budak menggotong saya dan membaringkan saya di atas tikar. Di sanalah saya terbaring selama lebih dari satu bulan." Pada usia 13 tahun, Bakhita mengalami siksaan tatto yang mengerikan. Pada awalnya tubuhnya digambari, kemudian pisau cukur ditorehkan di sepanjang garis-garis gambar, lalu garam ditaburkan disetiap torehan pisau cukur di  tubuhnya. Hanya wajahnya saja yang tidak disiksa dengan tatto. Hanya karena mujizat Tuhan sajalah Bakhita bisa bertahan hidup. 

  Pada tahun 1883, ia dibeli oleh seorang Konsul Italia bernama Callisto Legnani. Untuk pertama kalinya sejak diculik ia mengalami perlakuan yang ramah dari majikannya. Di rumah Tuan Legnani ia merasakan kedamaian, kehangatan dan sukacita. Sampai pada akhirnya Tuhan mengizinkan ia tinggal di asrama yang dikelola oleh suster-suster Canossian dari Institut Katekumen di Venice. Di sanalah Bakhita mengenal Tuhan yang ada di hatinya tanpa ia ketahui siapa Ia sebenarnya. Pada tanggal 9 Januari 1890, Bakhita menerima sakramen baptis dan memperoleh nama baru Yosefina. Ia tidak tahu bagaimana mengungkapkan sukacitanya pada hari itu. Matanya yang bulat bersinar-sinar, menunjukkan sukacita yang amat mendalam. Sejak hari itu ia sering terlihat mencium bejana baptis sambil berkata, "Di sinilah, aku menjadi anak Allah." Pada akhirnya Bakhita masuk biara dan menjadi suster Canossian di Venisia, Italia. Ia menjadi suster yang lembut, hangat dan menyenangkan hati anak-anak, menghibur mereka yang miskin dan menderita serta membesarkan hati mereka yang datang mengetuk pintu biara. 

  Bacaan di atas menunjukkan bahwa manusia Allah sungguh mengasihi manusia. Manusia begitu berharga di hadapan Allah, sehingga Ia telah membuatnya hampir sama seperti Allah dan telah memahkotainya dengan kemuliaan dan hormat. Itu artinya kita diharapkan memiliki sikap hormat dan mengasihi terhadap sesama manusia. Namun yang sering terjadi adalah manusia tidak menghargai kehidupan yang sudah diberikan Allah, misalnya bunuh diri, aborsi, merusak tubuh dengan narkoba, sex bebas dan segala sesuatu yang merendahkan martabat manusia. 

   Melalui kisah Santa Bakhita di atas, kita belajar untuk menghargai kehidupan. Walaupun ia mengalami penganiayaan yang merendahkan harga dirinya, tetapi pada akhirnya ia tidak membawa luka itu di dalam hatinya, tetapi ia justru menyerahkan hidupnya bagi Tuhan untuk menyalurkan cinta kasih-Nya pada sesama. Mari, kita belajar menghargai diri kita sendiri agar pada akhirnya kita bisa menghargai kehidupan di sekitar kita. Tuhan Yesus memberkati.

Doa:

Tuhan Yesus, ampuni aku karena aku sering merendahkan sesamaku melalui sikap, perkataan dan perbuatanku. Penuhilah aku dengan  kasih-Mu, agar aku belajar untuk menghargai dan menghormati kehidupan di sekitarku. Amin. (Dod).