Salah satu kekhasan konsumsi budaya populer di Indonesia pada dekade delapan puluhan terletak pada rentang pengaruhnya. Banyak konsumen budaya populer global - dalam hal ini penggemar musik Rock - di Indonesia yang mendapatkan pengaruh justru dari keluarga inti, terutama kakak. Bahkan beberapa mendapatkannya dari orang tuanya. Hal tersebut memperkuat anggapan bahwa pertemuan dengan musik Rock merupakan pengalaman dan memori masa kecil yang penting dalam lansekap konsumsi budaya populer global di Indonesia pada dekade tersebut. Dengan sendirinya, pemaknaan terhadap konsumsi merekapun menjadi berbeda dengan narasi yang diinginkan oleh pihak produsen budaya populer global tersebut.
Pengalaman masa kecil Theodorus Hartono, yang akrab dipanggil Teddy, tentang RUSH sepenuhnya menjelaskan gejala tersebut. Kepada Yuka dan Barto, dia bertutur, meski tumbuh besar di Jakarta, namun latar belakang Indonesia (dalam perspektif yang diungkapkan di atas) menjelaskan mengapa pertemuannya dengan Rush menggiringnya kepada praktik konsumsi musik yang soliter dan diinterpretasikan secara bebas. Menikmati Rush menjadi representasi dari individualitas murni yang dirayakannya secara tersembunyi - jika tidak dapat dikatakan secara kontemplatif. Dalam kesendirian itu, Teddy merangkai sendiri narasi tentang dunianya sendiri. Dunia yang dibentuk itu adalah dunia yang campur aduk antara kesukaannya terhadap pesawat terbang, peristiwa meledaknya gudang peluru Marinir Cilandak waktu duduk di bangku SD, lagu YYZ, novel “Tom Sawyer” karangan Mark Twain, hingga menonton konser melalui Laser Disc sendirian di kamar kosnya saat kuliah. Silakan simak obrolan santai ngalor-ngidul Barto, Yuka dan Teddy dalam episode keempat ini.