Dikotomi “soul” (ruh) versus “skill” (kapasitas teknis) sepertinya menjadi salah satu perdebatan yang sering mengemuka ketika orang mendiskusikan musik, terutama musik Rock. Demikian mengemukanya sehingga terkadang dikotomi ini menjadi tema dominan dan merebut seluruh diskusi tentang musik Rock. Salah satu contohnya adalah ketika orang membicarakan RUSH. Eksplorasi musikal yang mereka lakukan demikian menarik perhatian sehingga acapkali RUSH dibingkai sebagai band skillful dengan lagu-lagu yang rumit. Dalam kerangka argumentasi seperti ini, kita kerap terjebak pada anggapan bahwa apresiasi musik tidak perlu melibatkan faktor ekstra musikal yang juga berperan. Mengapa ini menjadi penting? Begini. Sebelum menjadi musisi, semua musisi sejatinya adalah pendengar musik karena mereka memulainya sebagai pendengar dan juga pembaca. Neil Peart adalah satu dari sedikit orang yang berhasil menunjukkan kepada penggemarnya bahwa ia adalah keduanya, pendengar dan pembaca ulung. Tidak sedikit, orang tersentuh oleh Peart secara puitik, ketimbang melalui kepiawaian bermain drum yang melingkari tigaratus enam puluh derajat.
Diki Satya adalah salah satu orang yang mengalami persentuhan tersebut di masa mudanya, ketika ia pertama kali bertemu dengan RUSH. Perkenalan Diki dengan band tersebut dimulai melalui album “Presto” (1989). Album yang menandai fase baru dari power trio ini usai album sebelumnya (“Hold Your Fire” 1987). Meski pada album ini RUSH terdengar mengubah arah musiknya menjadi lebih “populer” namun di sisi lain, lirik-lirik yang ditulis oleh Peart justru tampak semakin filosofis dan sekaligus visioner. Sebagai desainer grafis yang juga seorang gitaris, Diki merasa dirinya amat dipengaruhi oleh pemikiran Peart tentang perayaan akan individualitas. Pengaruh tersebut, menurut Diki terasa pada desain-desain yang dibuatnya. Simaklah obrolan santai ngalor-ngidul antara tiga fanboys - Diki, Barto dan Yuka - yang tidak terasa mendekati 2 jam lamanya, sehingga terpaksa disunting sekadar agar menjadi lebih singkat.