Mungkin anda pernah membaca banyak ulasan di berbagai media internasional mengenai muatan sastrawi dari lirik-lirik buah karya Peart. Secara tidak langsung, artikel-artikel tersebut menempatkan Peart secara spesial sebagai layaknya pujangga, ketimbang seorang pemain drum yang tiada duanya. Mungkin karena kombinasi antara pemain drum dengan pujangga demikian langka, maka demikian tinggilah apresiasi terhadap Peart. Dari departemen lirik pulalah banyak diskusi ekstra-musikal yang muncul. Lalu apa yang melintas di benak dua fanboys - Barto dan Yuka - ketika berbincang tentang RUSH dengan seorang mahasiswa Doktoral sastra Inggris? Tentu saja membuncah harapan bahwa akan terjadi diskusi kritis mengenai lirik-lirik Neil Peart dari perspektif susastra. Sandya Maulana adalah mahasiswa tersebut, yang tengah menyelesaikan studi lanjutnya di program English Literature, University of Kansas, di Lawrence, Kansas, Amerika Serikat.
Ketika masih menempuh kuliah S1 di Universitas Padjadjaran, Sandya yang juga seorang pemain drum, gemar melakukan eksperimen sound programming untuk musik elektronik yang digelutinya. Sandya menuturkan pandangannya tentang eksplorasi Peart dalam menciptakan komposisi drum dan sound drum yang khas di setiap lagu RUSH. Hal tersebut, baginya, justru membuat perbincangan tentang aspek teknologi yang ada pada RUSH - terutama Peart - menjadi jauh lebih menarik ketimbang perbincangan dan pemaknaan kultural tentang RUSH. Mengenai departemen lirik, bagi Sandya sungguh penting untuk memahami lirik Peart secara intrinsik. Simak lebih jauh obrolan antara tiga fanboys ini dalam episode ke delapan yang berjudul “Distant Early Warning” ini.