Barangkali begitu banyak anak muda yang ingin kerja tanpa perlu membebek dan terlalu patuh, apalagi kalau sampai menyerahkan segenap diri dan potensinya untuk dieksploitasi pemilik modal. Tapi, pada akhirnya tidak banyak dari kita yang berani menempuh risiko tanpa mengharapkan validasi pemilik modal yang punya perusahaan beken sampai nggak beken sama sekali itu. Di hadapan mereka, kita mudah jadi biji-biji sawi yang gampang banget ambyar diterpa embusan napas. Konstruksi sosial membentuk diri mafhum bahwasanya kita dibentuk sebagai mesin kapital dalam bayang-bayang label, "bekerja di perusahaan bonafit itu membuatmu tampak sungguhan keren hlo, daripada jadi petani, daripada menjajal usaha kecil-kecilan, daripada jadi pekerja lepas yang pemasukannya nggak pasti". Tidak peduli di balik label "keren" yang melekat di kerah itu kita hanya punya waktu sempit untuk tidur, untuk bermain-main dengan orang di sekitar, dan banyak lagi. Kali ini Jangan Nyasar menghadirkan cerita Na'imatur Rofiqoh. Alumnus Ilmu Komunikasi yang nekat jadi ilustratror lepas. Sehari-hari ia bergaul dengan cat warna dan kuas di petak kamar di Asrama Pekerja Wanita di Solo. Kenapa ya Na'im memilih jadi pekerja lepas, padahal kemungkinan ia bergabung dengan banyak perusahaan beken terbuka lebar. Soalnya, bukan tanpa apa, Na'im ini gambarnya sudah kelas internasional hlo. Beberapa kali karyanya nampang di acara beken kelas dunia. Hmmm. Jadi penasaran ya.