Sebuah Puisi: Cinta (Bagian Pertama)
Ditulis & Disuarakan oleh Ardi Kamal Karima
Di sudut kamar yang dingin, cinta dirajut sebagai pertemuan dua jiwa yang terperangkap dalam diam. Secangkir kopi menjadi saksi bisu, bukan sekadar objek, melainkan cermin dari kata-kata yang mengeras seperti batu—keras, tajam, namun tak mampu mengikis jarak. Cinta di sini adalah bahasa isyarat yang retak, tabu, seperti jam dinding yang menertawakan ketidakmampuan kita menghitung detak dan rindu. Waktu bukan lagi selimut yang menghangatkan, melainkan labirin yang menyesatkan, mengubah kerinduan menjadi kebisuan yang dungu. Di ruang sempit ini, dua insan saling melempar metafora: hujan yang tak pernah memenuhi sumur tua, buku-buku yang ditanam di pot mati, hingga akar yang menjelma kabel listrik. Semua adalah upaya menyambung rumah-rumah yang dilapisi jarak, menerangi tetangga yang asing, sementara diri sendiri tetap gelap.
Cinta dalam puisi ini adalah arus pendek yang membakar foto pernikahan ibu, sekaligus mencetak wajah berseri yang palsu. Pelukan di sini tak beda dari jeruji; ia mengurung, bukan melindungi. Kulit yang seperti kertas koran basah—setiap lipatannya memuat kematian yang belum terjadi—menjadi simbol betapa rapuhnya ikatan ini. Mencintai adalah mencuri kunci dari penjara tanpa jeruji: bebas, tapi justru merobek sekat-sekat mimpi. Bahkan pisau di meja makan bercerita tentang luka yang tak mau sembuh, tentang kesetiaan yang dihianati oleh garam dan tawa di sela Waktu. Ritual menyambut hantu, surat kepada Tuhan yang hanya dijawab pedagang sayur berkuah rindu masam, adalah ejekan terhadap upaya manusia mengukur yang ilahiah dengan kata-kata. Cinta di sini adalah gerbong kereta yang bergelantungan di rel tanpa tujuan, membawa abu warisan nenek yang setia menunggu—peninggalan dari kesia-siaan yang diwariskan turun-temurun.
Akhirnya, cinta adalah meteor yang membakar segala mustahil, sementara kita diam, menghilang, namun tetap memilih untuk mementaskan kehancuran berulang. Ardi Kamal Karima menggambar cinta sebagai tarian antara kegilaan dan keluguan: "mencintaimu adalah lidah yang kebas sekaligus kelu." Meski langit runtuh, puisi ini tak berakhir dengan keputusasaan. Justru di puing-puing, dua tubuh memilih berdansa lagi, menerjang bayang, menghabiskan kisah dengan seluruh kasih hingga ujung jalan. Di sini, cinta bukan jawaban, melainkan pertanyaan yang terus diulang-ulang—seperti puisi yang dikubur hidup-hidup, tapi tetap bernyala dalam meteor yang jatuh.
Ardi Kamal Karima
#ardikamal #literasi #penulis #monologue #jurnal #luka #perspektive #monolog #menjadimanusia #filsafat #sastra #ardikamal #puisi #poem #poet #penyair #cinta #puisicinta #syair #syaircinta