Sebuah Puisi: GELAP TERANG
Ditulis oleh Ardi Kamal Karima
Disuarakan: Nona Senja
Puisi ini membuka dengan gambaran realitas sosial yang suram dan penuh penderitaan. "Pelita yang padam" melambangkan harapan yang terus menerus pudar, sementara "bibir-bibir sumbing" dan "bayangan yang tumbuh lebih panjang" menggambarkan luka, korban kota, serta beban hidup yang lebih besar daripada diri manusia itu sendiri. Penderitaan itu semakin dalam dengan "sungai diam-diam menelan nama," yang menyiratkan hilangnya identitas dan nyawa tanpa suara, seakan-akan kegelapan (malam) terus meminta tumbal tanpa ada "pengganti cahaya." Kehidupan digambarkan statis dan tak berarti, hanya coretan di "papan-papan yang selalu basah," ibarat pesan atau protes yang tak pernah bertahan atau didengar.
Pada bagian ini, sang aku lirik menunjukkan respons terhadap kegelapan tersebut, yang penuh dengan pengorbanan sia-sia dan keputusasaan. "Hutan-hutan masih membakar diri" adalah metafora kuat untuk pengorbanan besar yang dilakukan hanya untuk sekadar bertahan hidup di tengah zaman yang "terkontaminasi," seperti mengorbankan sesuatu yang murni untuk menyaring racun dunia. Pengorbanan itu ternyata tidak diimbangi dengan keyakinan; doa disimpan "di saku yang bolong," melambangkan iman yang mudah hilang dan rapuh. Keraguan mencapai puncaknya dalam pertanyaan retoris, "apakah fajar hanya dongeng yang diwariskan pembohong?" yang meruntuhkan optimisme konvensional dan mempertanyakan kebenaran janji akan perubahan yang lebih baik.
Meskipun diliputi kegelapan, puisi ini tidak berakhir dengan keputusasaan total. Bagian penutup menawarkan sebuah pemahaman baru tentang harapan. "Remang itu tetap merayap, seperti akar yang menguak retakan tembok" adalah simbol dari ketekunan dan kekuatan halus yang pada akhirnya bisa merobohkan tembok-tembok kesulitan. Terang tidak lagi digambarkan sebagai janji muluk yang diberikan dari luar, tetapi sebagai "luka yang bersedia mengobati diri sendiri"—sebuah kekuatan yang lahir justru dari penderitaan itu sendiri dan melalui proses penyadaran serta perjuangan internal. Penantian pun tetap dilakukan, meski terasa lama dan melelahkan ("waktu sudah lama menjadi tamu yang lupa pulang").Pada akhir puisi berfungsi sebagai penegas sekaligus pengingat bahwa siklus ini adalah suatu keyakinan historis, yang dalam konteks puisi ini, harus diperjuangkan dengan gigih dan sabar, bukan hanya ditunggu secara pasif.
#ardikamal #literasi #penulis #monologue #jurnal #luka #perspektive #monolog #menjadimanusia #filsafat #sastra #ardikamal #puisi #poem #poet #penyair #kutipan #poetry #sajak #mentalhealth #syair #pahamkiri #wijithukul