Sebuah Puisi: Tentang Nama Yang Dipatok Di Kuburan Kota
Ditulis & Disuarakan oleh Ardi Kamal Karima
Puisi Ardi Kamal Karima mengkritik materialisme dan ketimpangan sosial dalam kehidupan perkotaan melalui metafora tajam, menggambarkan kehidupan sebagai "pasar" transaksional di mana kepedulian direduksi menjadi "gemerisik lembaran di dompet". Narator sebagai "kuli" yang miskin diejek oleh elit—disimbolkan seperti "anjing menggonggong bayangannya sendiri"—menyingkap absurditas hierarki sosial: elit mengejar hal semu, sementara kelas pekerja terjebak dalam kemiskinan. Puisi ini juga menyoroti tergerusnya nilai keluarga oleh kapitalisme, lewat ironi nasihat ayah, "Jangan menangis di depan emas", yang berubah muram saat "emas" menjadi pagar nisan ibu—simbol materi yang mengubur humanisme. Spiritualitas yang tergerus industrialisasi tercermin dari doa yang "menguap jadi asap cerobong pabrik", sementara langit "berdasi" menegaskan alam yang tunduk pada struktur kota artifisial. Melalui simbol karung berlubang, debu di kuku, dan kemewahan di kuburan, puisi ini memprotes dehumanisasi yang mereduksi manusia menjadi sekadar nama di tengah kepalsuan sistem bermaterial. Dengan diksi puitis nan pedih, Karima mengajak pembaca merenungi makna hidup autentik di tengah dunia yang kian mekanistik.
#ardikamal #literasi #penulis #dialogue #dialog #jurnal #luka #perspektive #monolog #menjadimanusia #filsafat #sastra #ardikamal #puisi #poem #poet #penyair #penyairindonesia