Sebuah Dialog: Tentang Tuhan Yang Bermain CaturDengan Reruntuhan
Ditulis & Disuarakan oleh Ardi Kamal Karima
Tulisan ini menggambarkan kehidupan sebagai papan catur yang retak, di mana manusia hanyalah bidak-bidak rapuh seperti daun yang diinjak roda sistem besar. Metafora "langkah-Nya terlalu cepat, tertukar dengan algoritma lalu lintas" menyiratkan ketidakberdayaan manusia di tengah percepatan modernitas yang dikendalikan oleh teknologi dan struktur tak kasatmata. Pertanyaan seperti "Apa arti 'skak mat' bila kita semua cuma pion yang dicat jadi ratu?" mengejek ilusi kekuasaan manusia, yang meski merasa menjadi "ratu", tetap terjebak dalam permainan hierarki sosial yang tak adil. Bahkan langkah-langkah hidup seolah direduksi menjadi data yang diatur oleh kekuatan di luar kendali manusia.
Tulisan ini menelanjangi bagaimana agama dan penderitaan dijadikan komoditas. Gereja yang "menjual tisu saat air mata gratis" mengkritik institusi keagamaan yang memanfaatkan kesedihan untuk keuntungan, sementara "perusahaan asuransi yang menjanjikan langit tanpa badai" menyindir kapitalisme yang menawarkan keselamatan palsu. Billboard dianggap sebagai "altar baru", mencerminkan penyembahan terhadap konsumerisme, di mana Tuhan digambarkan sebagai "kurator di museum ilusi"—entitas yang jauh, sibuk mengurusi citra ketimbang substansi. Pertanyaan "Berapa harga tiket untuk duduk di barisan depan?" mengejek komersialisasi iman, di mana kedekatan dengan Yang Ilmu dijual layak barang dagangan.
Tulisan ini diwarnai kegelisahan akan ketidakpastian hidup dan keheningan langit yang tak merespons. Gambaran "doa-doa terjebak di lift gedung pencakar langit" atau "Tuhan sedang rapat menentukan nasib" menyindir birokrasi ilahi yang dingin dan tak terjangkau. Tokoh seperti tunawisma yang menyebut surga sebagai "stasiun terakhir yang tak perlu ongkos" atau pilot yang melihat surga sebagai "zona waktu berbeda" mencerminkan kerinduan akan makna yang sederhana, jauh dari kompleksitas dunia. Pertanyaan repetitif seperti "bolehkah kita menuntut ganti rugi?" dan "jam berapa kita bisa klaim tuntutan?" mengekspresikan kekecewaan manusia terhadap ketidakhadiran jawaban, sekaligus ironi bahwa pada akhirnya, "kita hanya punya tombol berjalan"—simbol penerimaan pasrah dalam ketidakberdayaan.
Ardi Kamal Karima
#ardikamal #literasi #penulis #dialogue #dialog #jurnal #luka #perspektive #monolog #menjadimanusia #filsafat #sastra #ardikamal #puisi #poem #poet #penyair