Listen

Description

Hati manusia memang unik. Satu hati bisa menampung banyak cinta. Uniknya lagi, cinta dari tiga naluri yang berbeda. Tidak percaya? Silahkan baca firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:. “Katakanlah, “Jika Bapak-bapak kamu, anak-anak kamu, saudara-saudara kamu, isteri-isteri kamu, keluarga kamu, serta harta yang kalian kumpulkan, dan perniagaan yang kalian khawatirkan kerugiannya, serta rumah-rumah yang kalian sukai lebih kalian cintai ketimbang Allah, Rasul-Nya serta jihad di jalan-Nya, maka tunggulah, hingga Allah memenangkan urusan-Nya. Allah tidak akan memberikan petunjuk kepada orang yang fasik.” [Q.s. at-Taubah: 24]

Mencintai bapak, anak, saudara, isteri dan keluarga adalah cinta yang lahir dari naluri seksual [gharizatu an-nau’]. Sedangkan mencintai harta, perniagaan dan rumah mewah adalah cinta yang lahir dari naluri survive [gharizatu al-baqa’]. Adapun mencintai Allah, Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah adalah cinta yang lahir dari naluri beragama [gharizatu at-tadayyun].

Cinta itu sendiri sebenarnya adalah buah, dari khashiyat yang Allah ciptakan pada setiap naluri. Khashiyat ini muncul karena ada stimulus dari luar, baik berupa fakta, maupun pemikiran. Cinta itu bisa datang dan pergi, tergantung pada dua stimulus ini. Mencintai bapak, anak, saudara, isteri dan keluarga, ketika semuanya itu masih ada. Ketika sudah tidak ada, maka cinta kepada mereka tinggal kenangan. Begitu juga cinta kepada harta, perniagaan dan rumah mewah juga ketika semuanya masih ada. Ketika, semuanya tiada, maka ia pun pupus.

Ini cinta yang dibangkitkan oleh fakta. Tetapi, meski fakta sudah tidak ada, kenangan [pikiran] kita tentang bapak, anak, isteri, saudara dan keluarga, tetap bisa membangkitkan cinta. Begitu juga, fakta tentang harta, perniagaan dan rumah mewah, meski telah tiada, tetapi kenangan [pikiran] tentang semuanya itu bisa membangkitkan kembali cinta kepadanya. Begitulah khashiyat yang berikan oleh Allah kepada naluri manusia.

Cinta kita kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Nabi Shalla-Llah ‘alaihi wa Sallama adalah cinta yang lahir dari naluri beragama [gharizatu at-tadayyun]. Cinta ini lahir karena dua stimulus yang sama, fakta dan pikiran. Karena itu, kuat dan tidaknya cinta kita kepada Allah dan Rasul-Nya, sesungguhnya bergantung pada kuat dan tidaknya interaksi kita dengannya, juga kuat dan tidaknya kita memikirkannya. Semakin kuat interaksi kita, semakin kuat cinta kita. Semakin kuat kita memikirkannya, maka semakin kuat cinta kita.

Uniknya, ketiga cinta ini bisa saling dikalahkan dan mengalahkan. Karena itu, Q.s. at-Taubah: 24 di atas mengingatkan, “Katakanlah, “Jika Bapak-bapak kamu, anak-anak kamu, saudara-saudara kamu, isteri-isteri kamu, keluarga kamu, serta harta yang kalian kumpulkan, dan perniagaan yang kalian khawatirkan kerugiannya, serta rumah-rumah yang kalian sukai lebih kalian cintai ketimbang Allah, Rasul-Nya serta jihad di jalan-Nya, maka tunggulah, hingga Allah memenangkan urusan-Nya. Allah tidak akan memberikan petunjuk kepada orang yang fasik.” [Q.s. at-Taubah: 24]

Jadi, cinta kepada Allah dan Rasul bisa dikalahkan oleh cinta kepada bapak, anak, saudara, isteri, keluarga, harta, perniagaan serta rumah-rumah mewah. Karena itu, Allah ingatkan, bahwa ini tidak boleh terjadi. Sebaliknya, semua cinta tadi harus dikalahkan oleh cinta kepada Allah dan Rasul. Bahkan, agar tiga tersebut tidak saling bertentangan, maka cinta kepada Allah dan Rasul harus dijadikan sebagai pedoman dan standar cinta kita kepada yang lain.