Listen

Description

Ramadhan bukanlah waktu untuk berhenti maksiyat sementara, yang awalnya mengumbar aurat di televisi, lalu menutup aurat, nanti setelah Ramadhan membuka aurat lagi, tempat maksiyat ditutup sementara untuk dibuka lagi nanti, sekali-kali bukan seperti itu. Puasa Ramadhan merupakan proses menuju taqwa yang sebenarnya, yakni meninggalkan maksiat kepada Allah secara total. Sebagaimana firman-Nya:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُون

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa.” (Al Baqarah : 183)

Selain puasa di siang hari dan shalat di malam hari sebagai media untuk meningkatkan derajat taqwa, aktivitas lain yang tidak kalah pentingnya adalah membaca, mengkaji dan mengulang-ulang mempelajari Al Quran hingga mampu memahami cara mengamalkan. Rasulullah yang hafal dan paling mengerti tentang Al Qur’an pun setiap Ramadhan beliau mengulang-ulangnya. Ibnu ‘Abbas r.a. berkata:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَجْوَدَ النَّاسِ، وَكَانَ أَجْوَدُ مَا يَكُونُ فِي رَمَضَانَ حِينَ يَلْقَاهُ جِبْرِيلُ، وَكَانَ يَلْقَاهُ فِي كُلِّ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ فَيُدَارِسُهُ القُرْآنَ

“Rasulullah adalah orang yang paling pemurah, dan beliau lebih pemurah lagi di bulan Ramadhan ketika beliau ditemui Jibril. Jibril menemuinya setiap malam bulan Ramadhan untuk bertadarrus Al Quran dengan beliau …” (HR. al Bukhari).

Begitu juga para sahabat, begitu mendalamnya mereka mengkaji Al Qur’an hingga menghabiskan bertahun-tahun untuk mengkaji satu surat saja. Ibnu Sa’ad meriwayatkan dari Maimun:

أَنَّ ابْنَ عُمَرَ تَعَلَّمَ سُورَةَ الْبَقَرَةِ فِي أَرْبَعِ سِنِينَ

“Sesungguhnya Ibnu Umar mempelajari surat Al Baqarah dalam waktu empat tahun”. (At Thabaqât Al Kubro, 4/164).

Bahkan di dalam kitab Al Muwattha’ dinyatakan Ibnu Umar mempelajari surat Al Baqarah bukan dalam waktu empat tahun, namun delapan tahun. Hal ini terjadi bukan karena lambannya beliau dalam menghafal, akan tetapi karena beliau bukan sekedar membaca dan menghafal, namun beliau mempelajari fardlu–fardlu, hukum–hukum dan ilmu-ilmu yang berkaitan dengan ayat–ayat tersebut, sebagaimana penjelasan dalam Syarh Az Zarqani lil Muwattho’ (2/27).[1].

Jika Rasulullah senantiasa mengkaji berulang kali al Qur’an, Ibnu ‘Umar r.a dan juga sahabat yang lain begitu serius mengkaji hingga tahu cara mengamalkannya, padahal mereka sudah hafal dan sangat fasih berbahasa Arab, lalu pantaskah diri kita yang serba kurang ini mencukupkan diri dengan hanya membacanya saja-itupun kalau mau membaca-, mengkhatamkannya berulang-ulang, namun malas meluangkan waktu untuk mengkajinya dan mengkaji ilmu-ilmu yang terkait dengannya? Jika kita merasa cukup dengan itu, sungguh kita telah tertipu oleh kebanggaan diri sendiri, sebagaimana perkataan Imam al Hasan al Bashri (w. 110 H):

أُنْزِلَ الْقُرْآنُ لِيُعْمَلَ بِهِ، فَاتَّخَذَ النَّاسُ تِلَاوَتَهُ عَمَلًا، يَعْنِي أَنَّهُمْ اِقْتَصَرُوا عَلٰى التِّلَاوَةِ وَتَرَكُوا الْعَمَلَ بِهِ

“Al Qur’an diturunkan untuk diamalkan, maka manusia menjadikan membacanya sebagai amalan”, yakni mereka merasa cukup puas dengan membacanya, dan meninggalkan mengamalkannya. [Talbîs Iblîs hal.101].

Semoga Ramadhan yang akan kita jumpai ini lebih memacu semangat kita untuk mendekatkan diri kepada Allah, mendalami kitab-Nya, mengamalkan dan memperjuangkan ajaran-ajaran-Nya.