Listen

Description

Meraih takwa tidak cukup hanya dengan melakukan ibadah-ibadah mahdhah seperti puasa dan shalat malam, namun harusnya dengan berupaya sekuat tenaga menjalankan semua perintah Allah dalam setiap aspek kehidupan. Syeikh ‘Abdul Qôdir Al- Jîlâniy dalam kitabnya, Al Ghun-yah menukil pernyataan Khalifah Umar bin Abdul Aziz:

ليس تقوى الله بقيام الليل وصيام النهار والتخليط فيما بين ذلك، ولكن التقوى أداء فرائض الله وترك محارمه، فمن رزق بعد ذلك خيراً فهو خير إلى خير[1]

“Ketakwaan itu bukan sekedar puasa di siang hari dan qiyamul lail (ibadah dimalam hari) atau seputar itu. Tapi takwa itu meninggalkan apa yang dilarang Allah dan mengerjakan apa yang difardhukan-Nya, maka barang siapa yang setelah melakukan itu Allah anugerahkan kebaikan (semangat untuk melakukan yang sunnah dan meninggalkan yang makruh dan syubhat), maka yang demikian itu adalah kebaikan pada kebaikan”.

Oleh karena itu tidaklah bermakna apa-apa puasa atau shalat malamnya seseorang, jika ia melalaikan berbagai kewajibannya dan malah sering melakukan berbagai keharaman. Rajin puasa dan qiyamul lail (shalat malam), namun rajin pula korupsi, pamer aurat, menggunjing, enggan berhukum dengan hukum syari’ah apalagi melecehkannya atau membuat aturan yang mengingkari hukum Allah dan kemaksiatan lainnya. Rasulullah saw bersabda:

كَمْ مِنْ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ إِلاَّ الْجُوعُ وَكَمْ مِنْ قَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ قِيَامِهِ إِلاَّ السَّهَرُ

Betapa banyak orang yang berpuasa tidak mendapatkan apapun selain rasa lapar saja, dan betapa banyak orang yang melakukan shalat malam tidak mendapat apapun selain bergadangnya saja (HR Ahmad). Wal ‘iyâdzu billâh.

Puasa kita baru akan bermakna dan berhasil meraih takwa, jika kita berupaya untuk menjalankan semua hukum syari’ah Allah swt, menjauhi semua larangan-Nya, dan berhati-hati dari hal yang halal sekalipun agar tidak menggelincirkan kita kepada keharaman. Allahu A’lam.