Hijrahku Bukan Hijrah Biasa
Oleh. Dia Dwi Arista
(Kontributor Tetap NarasiPost.Com)
Voice Over Talent : Arien S
NarasiPost.Com-Mendengar kata hijrah, pasti tak asing di telinga. Beberapa tahun belakangan, kata hijrah menjadi booming. Tersebab gelombang hijrah yang menyapa para artis ibu kota. Bahkan mereka membuat acara gathering mengajak para pemuda untuk hijrah bersama-sama. Hasilnya, banyak dari kalangan artis mengikuti langkah mereka, berhenti tampil di layar kaca, penampilan pun sudah tak terbuka.
Itu adalah kisah hijrah meriah mereka, beruntung Allah karuniakan kepopuleran hingga bisa mengajak khalayak bergabung dalam gelombang hijrah. Berbeda denganku, di sinilah kisah hijrahku. Hijrah yang menguras tenaga dan air mata. Tapi semua itu worth it. Aku mendapat hal yang lebih berharga daripada air mata dan tenaga yang tercurah.
Dahulu, hari Jumat adalah hari yang paling membuatku malas, bukan apa-apa, namun dihari itu aku harus berangkat sekolah lebih awal dari biasanya. Ya, sekolahku membagi kelasnya menjadi pagi dan siang. Aku yang kelas X, harus rela bermandikan peluh, mengayuh sepeda hampir satu kilo menuju pangkalan bus ke sekolah. Meski tak jarang kaki menjadi andalan ketika sepeda tak bisa dipakai.
Pada hari biasa, zuhur adalah alarm untuk segera mengayuh sepeda setelah menunaikan salat. Namun jika Jumat tiba, roda sepeda akan berputar satu jam menjelang zuhur. Perjalanan dari rumah ke sekolah jika normal adalah 45 menit. Jika molor, alamat harus mendekam di perpustakaan untuk merangkum tiga buku sekaligus sebagai hukuman.
Aku terlahir bukan dari orangtua kaya maupun berpendidikan, ibuku tak pernah mengenal huruf dan angka, sedangkan bapak sempat bersekolah hingga tingkat lima, namun terpaksa mengundurkan diri ketika ekonomi dirasa semakin sulit. Kehidupan kedua orangtuaku berputar hanya untuk mendapat secuil materi.
Tak jarang, karena ekonomi pula pertengkaran tersulut. Dan hal ini sering terjadi di depan kami, anak-anaknya. Ya, sering! dan kami menyaksikannya. Pertengkaran biasanya diakhiri dengan drama perginya ibu dari rumah. Rumah terasa mencekam, dingin tanpa tawa. Broken, but not broken.
Memasuki usia remaja, pertengkaran masih sering terjadi. Namun frekuensi berkurang. Hingga pada suatu Jumat, aku sudah lelah, sangat lelah dengan semua cekcok dan perang dingin yang mereka lemparkan. Keputusan berangkat lebih awal, tiga jam sebelum zuhur, menjadi titik tolak perubahan besar dalam hidupku.
Naskah Selengkapnya : https://narasipost.com/2021/08/17/hijrahku-bukan-hijrah-biasa/
Terimakasih buat kalian yang sudah mendengarkan podcast ini,
Follow us on :
instagram : http://instagram.com/narasipost
Facebook : https://www.facebook.com/narasi.post.9
Fanpage : Https://www.facebook.com/pg/narasipostmedia/posts/
Twitter : Http://twitter.com/narasipost