Dalam sebuah penelitian untuk menemukan obat-obatan berbahan dasar jamur ergot di laboratorium milik Sandoz, Swiss, pada 1938, seorang kimiawannya yang bernama Albert Hoffman berhasil menyintesiskan lysergic acid diethylamide. Kelak Hoffman jualah yang menemukan efek psikedelik LSD saat secara tidak sengaja, sejumlah senyawa zat asam ini tertelan olehnya lima tahun kemudian.
Dari kecelakaan tersebut, LSD diteliti lebih lanjut dan dijual perusahaan farmasi Sandoz sebagai panasea (obat yang ampuh untuk semua) gangguan jiwa pada 1947. Gangguan jiwa yang diklaim bisa diatasi obat ini berkisar dari skizofrenia hingga perilaku kriminal. Singkatan LSD berasal dari lysergsäurediethylamid, bahasa Jerman untuk lysergic acid diethylamide.
Narkoba ini sangat populer di kalangan hippies, para penentang Perang Vietnam dari generasi bunga di akhir dekade 1960-an. Di tanah air, LSD juga cukup dikenal dan dikonsumsi untuk rekreasi. Eric Arfianto, webmaster situs Rumah Cemara, mengaku kenal LSD pada pertengahan 1990-an. Ia menekankan bagi para newbie untuk memiliki pemandu saat konsumsi obat dengan nama jalanan acid atau kertas ini.
Sementara, Kevin Mathovani mengaku, saat ini LSD dengan dosis yang lebih rendah banyak dijual di internet. Namanya N-bomb. Kevin pun menyampaikan pesan untuk mengurangi risiko yang timbul dari konsumsi halusinogen ini. Seperti apa pengalaman mereka berdua saat mengonsumsi narkoba berbentuk kertas mirip perangko itu? Yul simak rekamannya! Disclaimer: Pembahasan mengenai narkoba, dalam hal ini LSD, pada tayangan ini tidak dimaksudkan mengajak apalagi menyarankan penonton untuk mengonsumsinya.
Tayangan ini ditujukan untuk menjunjung ilmu pengetahuan dengan berdiskusi mengenai wacana pengendalian narkoba yang lebih baik.
#RumahCemara #IndonesiaTanpaStigma #SupportDontPunish #LSD #Halusinogen