Listen

Description

Hipokrisi Demokrasi ; Kritiklah Daku, Kau Kutangkap

Penulis: Atika Rahmah

Voice Over Talent : Vita

===

Islam, Tidak Anti Kritik

Islam sebagai ajaran yang belakangan sering dilabeli ‘radikal’ memiliki konsep unik dalam memandang kritik. Islam mendorong setiap muslim untuk melakukan muhasabah lil hukam (mengkritik dan menasehati penguasa). Hal ini dilakukan semata-mata agar menjaga penguasa dan negara tetap berada dalam koridor hukum syara. Ketika penguasa membuat kebijakan yang mendzalimi rakyat dan bertentangan dengan syariat, maka wajib dikoreksi.

Rasulullah Saw. bahkan menyatakan dengan spesifik kewajiban serta keutamaan melakukan muhasabah (koreksi) kepada penguasa. Al-Thariq menuturkan sebuah riwayat,

“Ada seorang laki-laki mendatangi Rasulullah Saw., seraya bertanya, ‘Jihad apa yang paling utama?’ Rasulullah Saw. menjawab, ‘Kalimat hak (kebenaran) yang disampaikan kepada penguasa yang zalim.'” (HR Imam Ahmad)

Budaya muhasabah atau kritik inilah yang senantiasa dihidupkan dan dijaga dalam peradaban Islam. Lihatlah bagaimana isi khutbah Abu Bakar Ash-Shiddiq saat dibai’at sebagai Kh4lif4h pengganti Rasulullah Saw.,

“Saudara-saudara, aku telah diangkat menjadi pemimpin bukanlah karena aku yang terbaik di antara kalian semuanya, untuk itu jika aku berbuat baik bantulah aku, dan jika aku berbuat salah luruskanlah aku.”

Kh4lif4h Umar bin Khaththab ra. pun tak jauh beda, beliau berkata “Apa yg akan kalian perbuat jika aku melakukan tindakan yang melanggar aturan Allah dan Rasul-Nya?” Tidak ada yang menjawab. Semua mata hanya menatap beliau. Hingga ketiga kalinya beliau mengulangi pertanyaannya, seorang pemuda bergegas berdiri, mengacungkan pedang dan berseru, “Jika engkau bertindak melanggar aturan Allah dan Rasul-Nya, maka pedang ini akan kukalungkan ke lehermu!”

Mendengar hal tersebut, Khalifah Umar bin Khaththab bukannya marah, justru berkata, “Alhamdulillah yang telah menempatkan di negeri ini seseorang yang akan meluruskan kebengkokan Umar dengan pedangnya.”

Kisah serupa terjadi pada Umar bin Abdul Aziz. "Wahai amirul mu'minin, apakah gerangan yang mendorong Anda untuk membaringkan diri di siang hari ini?" tutur putranya. "Aku letih dan butuh istirahat sejenak." "Pantaskah engkau beristirahat, padahal masih banyak yang teraniaya?", tambah Sang putra.

"Wahai anakku, semalam suntuk aku menjaga pamanmu. Nanti usai zhuhur aku akan kembalikan hak-hak orang yang teraniaya." "Wahai amirul mu'minin. Siapakah yang dapat menjamin Anda hidup sampai zhuhur jika Allah mentakdirkan mati sekarang?"

"Segala puji bagi Allah yang telah mengkaruniakan kepadaku anak yang telah membuatku menegakkan agama ini."

Begitulah tinta emas peradaban Islam mencatat sikap pemimpin Islam yang tidak anti kritik bahkan meminta untuk dikritik dan diluruskan. Islam memandang duduk di kursi penguasa adalah ujian berat. Bagi penguasa yang tidak berpegang teguh pada hukum -hukum Allah dan lalai dari pengawasan Allah maka kecelakaan besarlah baginya.

Inilah hipokrisi demokrasi. Demokrasi yang berbasis pada kepentingan manusia maka akan memandang kritikan sebagai perongrong kepentingan. Berbeda dengan Islam yang setiap aturannya bersumber dari wahyu. Kritik adalah bagian amar ma’ruh nahi munkar, bentuk penjagaan agar tetap kokoh berdiri di jalan yang lurus. Itulah mengapa salah satu karakter dari khairu ummah adalah melakukan amar ma’ruf nahi munkar, termasuk pada penguasa.

“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar dan beriman kepada Allah.” (QS Al Baqarah: 110)

————————————
Silakan share dan follow

IG : instagram.com/suaramuslimahcenderawasih/

Telegram : t.me/SMBC_Papua

————————————
Menyuarakan Islam di Bumi Cenderawasih
————————————