Sebagai podcast olahraga terbaik se-Indonesia, Jerry, Rossi, dan Dex ngomongin award di episode kali ini. Sebelumnya kami sempat bahas soal Son Heung-min yang gak masuk dalam penghargaan PFA meski penampilannya sepanjang 2021/22 impresif. Begitu juga ketika Wesley Sneijder gak masuk tiga besar Ballon d’Or 2010 meski membawa Inter Milan treble dan Belanda ke final Piala Dunia. Ini bisa diperparah jika nanti Karim Benzema gak ada di papan atas Ballon d’Or 2022. Apakah penghargaan semacam ini lebih mencerminkan performa atau cuma favoritisme?
Konten:
- Kenapa Dex memfavoritkan angka 17? Favoritisme ternyata sudah terbangun dari hal kecil dan secara gak langsung (01:06)
- Menurut kalian, favoritisme di ajang penghargaan pemain itu beneran ada atau gak? Termasuk di Ballon d’Or (02:53)
- Favoritisme ada salah satunya karena familiaritas, gara-gara orang banyak terpapar oleh hal tersebut (04:51)
- Harus ada yang melakukan challange sama sistem voting buat award-award seperti ini (06:36)
- Meski gitu, favoritisme sama familiaritas itu hal yang berbeda, tapi memang sejalan (08:39)
- Mungkin voting terus dipakai karena dianggap menjadi cara termudah, walaupun ujung-ujungnya jadi ajang popularitas (09:52)
- Hal paling populer belum tentu paling bagus, misalnya populernya (didukung SEO) nulis “rispek” padahal yang benar adalah “respek” (11:46)
- Liverpool kabarnya sempat menertawai klausul Bayern München untuk Sadio Mané karena di dalamnya ada bayaran tambahan jika Mané menang Ballon d’Or. Bukan gak yakin sama kemampuan Mané, melainkan karena ada unsur rasialisme bermain juga sehingga sulit untuk pemain dari Afrika menang Ballon d’Or (14:09)
- Jadi, apa yang mesti dilakukan agar penghargaan semacam ini gak jadi ajang favoritisme atau popularitas? (16:44)