Listen

Description

embala Menyapa

30 Januari 2023

*SIAPAKAH YANG BOLEH DATANG KEPADA TUHAN?

Mazmur 15:1-5

Ketika judul perikop saat ini diperhadapkan pada kita: “Siapa yang boleh datang kepada TUHAN?”, Apakah yang akan saudara jawab? Setiap orang percayakah? Atau setiap orang yang beribadah di gereja dengan berpakaian rapi, uang persembahan yang bersih, membawa Alkitab dan buku catatan khotbah? Tentu, jawabannya macam-macam. Namun, jika kita sejajarkan dengan ungkapan Pemazmur dalam pasal ini, apakah saudara termasuk orang yang boleh menumpang dalam kemah Tuhan? Yang dimaksud kemah Tuhan adalah lambang kehadiran Allah di tengah umat-Nya. Gunung yang kudus adalah istilah yang dipakai di kitab Keluaran yang menunjuk pada gunung Sinai, tempat Allah menyatakan diri-Nya kepada umat-Nya. Juga bisa menunjuk pada bait Allah di Yerusalem, di mana Allah menjanjikan penyertaan-Nya atas umat-Nya.

Pemazmur memberikan standar yang harus dipenuhi, jika seseorang hendak menghadap Allah. Yaitu dia yang tidak bercela, dia yang berlaku adil, dia yang mengatakan kebenaran, dia yang tidak menyebarkan fitnah, dia yang tidak berbuat jahat terhadap sesamanya, dia yang tidak menimpakan cela kepada tetangganya, dia yang tidak memandang hina orang yang tersingkir. Dia yang tidak meminjamkan uangnya dengan makan riba, dia yang hidupnya selaras dengan ajaran dan perintah Allah dan dia yang selalu menjaga kekudusan hidup. Orang-orang yang berlaku demikianlah dikatakan oleh Pemazmur tidak akan goyah selama-lamanya. (Ay. 5).

Ketika begitu banyak standar yang diuraikan Pemazmur, apakah kita sudah termasuk orang yang layak? Tentu, sebagian kita akan mengatakan, “Kalau harus semua dan sesempurna itu, sepertinya tidak ada”, karena kita manusia penuh dengan keterbatasan. Lalu, bagaimana cara kita sebagai orang percaya yang penuh keterbatasan ini datang dan terus mengalami hadirat Allah? Jawabannya kita dengan sepenuh hati dan tekad menyadari untuk layak di hadapan Tuhan yang suci, hidup kita haruslah suci. Harus ada perubahan pada diri kita untuk mengarahkan diri dan hati kita kepada Allah. Harus ada keseimbangan dan kesinambungan antara ibadah dengan laku hidup kita. Meskipun, yang melayakkan seorang dihadapan Allah adalah anugerah dan kasih karunia Allah dalam diri Yesus Kristus, namun kita umat-Nya harus semangat untuk berproses menjadi diri yang lebih baik dari sebelumnya.