Aku tutup rasa lapar dan rasa ingin tahu si bungsu tentang kapan bapaknya pulang, dengan dongeng-dongeng. Kali ini, si bungsu tidak bertanya soal bapaknya. Ia meminta diajak ke suatu desa yang menyenangkan. Aku pun mengingat-ingat, barangkali ada desa yang terselip belum kuceritakan. Maka kali ini, kuceritakan soal desa yang aneh. Tentang desa yang memiliki gunung, padang pasir dengan gundukan-gundukan, dan rumah penduduk yang berada di bukit-bukit. Kalau warga membuka jendela pada pagi hari, gundukan pasir bergunduk-gunduk akan merona oleh cahaya matahari yang memutih. Pagi hari, hampir semua jendela rumah warga serentak dibuka. Sementara penghuninya keluar mencari air, dan bapak-bapaknya bekerja. Kalau tak ada yang dimakan, mereka puasa. Itulah yang dialami keluarga Mistat hari ini. Berpuasa. Suatu ketika, saat membuka jendela dan kepala melongok, ia melihat ada hal lain di puncak gundukan. Ia melihat benda kecil yang berkibar-kibar. Kenapa ditancapkan di gundukan padang pasir itu? Mistat mendekatinya, bersama sejumlah anak. Sesampainya di dekat bendera, Mistat dan anak-anak itu terperangah. Bendera itu berupa lembaran uang yang nilainya paling besar. Mereka tahu uang sebesar itu, tapi tidak pernah memilikinya. Di dekat bendera itu, ada peti kayu yang isinya uang pecahan yang sama. Mistat dan anak-anak itu tak berani menyentuhnya. Mereka lari dan mengabarkan pada yang lain. Sesepuh kampung yang mendengar, langsung mengernyitkan dahinya... (bersambung). Penulis: Iman Suwongso. Narator: Iman Suwongso. Audio: Menel Pradana.