“Tajuk Rasil”
Rabu, 18 Sya’ban 1445 H/ 28 Februari 2024
Gagal Nyaleg Berujung Depresi
Oleh: Nida Alkhair
Ada-ada saja masalah yang muncul setelah pesta demokrasi 14 Februari lalu. KPU memang belum mengumumkan hasil pemilu secara resmi, tetapi berdasarkan hasil real count sementara, sudah tampak perolehan suara para caleg, meski belum final. Beberapa caleg dan tim sukses (timses) yang memperoleh suara sedikit, tidak bisa menyembunyikan kekecewaannya. Banyak di antara mereka yang mengalami depresi bahkan berujung bunuh diri.
Hal ini seperti yang terjadi di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Dua orang timses mengambil kembali “amplop” yang telah dibagikan kepada warga. Di Lombok Tengah, NTB, oknum timses salah satu caleg melempar rumah timses caleg lain karena diduga melakukan kecurangan. Di Desa Jambewangi, Kecamatan Sempu, Banyuwangi, seorang caleg menarik kembali bantuan paving block untuk warga karena perolehan suaranya kecil. Sedangkan di Tegalkoneng, Desa Tambakjati, Subang, Jawa Barat, seorang caleg membongkar jalan yang dahulu ia bangun. Nasib tragis dialami timses caleg di Desa Sidomukti, Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau. Ia nekat gantung diri di pohon rambutan hingga meninggal dunia karena caleg yang didukungnya gagal meraih kursi anggota dewan.
Berbagai fenomena yang dialami para caleg dan timsesnya ini menggambarkan lemahnya kondisi mental mereka sehingga hanya siap menang dan tidak siap kalah. Ketika ternyata suara yang diperoleh sedikit, mereka merasa tertekan, stres, depresi, bahkan ada yang nekat bunuh diri. Seolah-olah dunia mereka hancur karena kalah dalam pemilu.
Fenomena depresi yang terjadi pada orang-orang yang gagal nyaleg disebabkan pandangan mereka yang keliru terhadap jabatan. Mereka memandang jabatan ala kapitalisme, yaitu tiket emas untuk memperoleh keuntungan materi. Demi memperoleh jabatan, banyak orang harus bersaing ketat dalam kontestasi. Demi memperoleh suara rakyat sebagai tiket menuju gedung dewan, para caleg rela merogoh kocek dalam-dalam. Ada di antara mereka yang menjual tanah, rumah, mobil, perhiasan, dan lainnya., bahkan ada yang sampai berutang karena sudah kehabisan modal.
Uang tersebut mereka gunakan untuk membiayai timses, mencetak alat peraga kampanye, dan yang paling banyak dananya adalah untuk membeli suara rakyat dengan memberikan “amplop serangan fajar” menjelang pencoblosan, juga pemberian bantuan fisik seperti pembangunan jalan, dan lainnya. Ketika semua hal tersebut sudah mereka lakukan demi mendapatkan jabatan dan ternyata gagal, dunia seolah hancur, jadilah mereka mengalami depresi. Inilah gambaran orang-orang yang gila jabatan di dalam sistem kapitalisme. Ketika gagal memperoleh jabatan, mereka bisa menjadi benar-benar gila.
Fenomena caleg yang habis-habisan kehilangan harta demi mencalonkan diri juga menunjukkan bahwa pemilu di dalam sistem demokrasi merupakan proses pemilihan yang berbiaya tinggi. Segala sesuatu dalam pemilu butuh biaya besar, tidak ada yang gratis, terutama adalah dukungan suara rakyat. Rakyat paham bahwa di dalam demokrasi kapitalisme, para pejabat akan mendadak kaya karena jabatannya. Oleh karenanya, mereka menganggap wajar jika rakyat juga berhak mendapatkan uang atas suara yang diberikannya. Meski sebenarnya jumlah “amplop” yang diterima rakyat itu sangat kecil jika dibandingkan dengan kenaikan harta pejabat yang drastis.................