“Tajuk Rasil”
Jumat, 29 Jumadil Awwal 1444 H/ 23 Desember 2022
Hamka Tentang Toleransi Beragama
Artikel Republika.co.id
Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau yang lebih dikenal dengan sebutan Buya Hamka, bisa menjadi teladan dalam kisah toleransi beragama. Dalam rubrik khasnya, Dari Hati ke Hati di Majalah Panji Masyarakat, Hamka banyak memberikan catatan seputar kerukunan antarumat beragama di Indonesia.
Salah satu peristiwa yang mendapat catatan serius darinya adalah pengalaman KH S S Djam'an, seorang ulama Jakarta yang ditangkap aparat karena tuduhan telah menyebarkan propaganda anti-Pancasila. Kisahnya bermula saat Kyai Djam'an memimpin pengajian dengan mengupas tafsir Surah al-Kahfi ayat ke-4 dan 5 yang menyebutkan ancaman neraka bagi orang orang yang berkata bahwa Allah mempu nyai anak.
Tidak berapa lama setelah pengajian usai, rumahnya dikepung oleh segenap pemuda Kristen. Seorang pendeta berkunjung, kemudian mereka pun berdialog. Kyai Djam’an bersikeras bahwa memang yang disampaikannya itu adalah hal pokok dalam ajaran Islam. Dialog yang tenang dan diakhiri dengan bersalam-salaman itu kemudian justru berlanjut dengan pemanggilan Sang Kyai ke kantor polisi.
Dalam kasus serupa lainnya, Hamka pun menceritakan tentang pengaduan seorang mubaligh yang menjelaskan makna Surah al-Ikhlash dalam sebuah perayaan Maulid Nabi Muhammad ﷺ di sebuah SMA di Tanjung Priok. Karena ada bagian dalam surah itu yang memastikan bahwa Allah itu tidak beranak dan tidak pula diperanakkan, maka guru guru Kristen di sekolah itu protes dan keberatan dengan penyampaian tabligh akbar tersebut.
Pada 30 November 1967, Pemerintah RI menggagas diadakannya Musyawarah Antar Agama. Dalam musyawarah itu, para pemuka agama-agama yang diakui secara resmi di Indonesia hadir. Pemerintah sendiri telah menyampaikan dua poin usulan kepada forum musyawarah tersebut. Pertama, agar dibentuk sebuah Badan Kontak Antar Agama. Kedua, agar diadakan suatu piagam yang ditandatangani bersama yang menyatakan bahwa pemeluk suatu agama jangan dijadikan sasaran propaganda oleh agama yang lain.
Poin usulan pertama telah diterima secara bulat. Hanya saja, usulan yang kedua justru ditolak mentah-mentah. Tambunan SH yang beragama Kristen menyampaikan, pendirian umat Kristiani bahwa menyebarkan Perkabaran Injil kepada orang yang belum Kristen adalah 'Titah Ilahi' yang wajib dijunjung tinggi. Pendapat ini mendapat sanggahan tegas dari Moh Natsir yang menekankan bahwa jika pendirian semacam itu hendak dipertahankan maka kekacauan akan timbul dan Negara Kesatuan Republik Indonesia akan terpecah belah. Meski demikian, pihak Kristen tidak menarik kembali pendapatnya.