Listen

Description

Pada suatu peperangan, Sayyidina Ali bin Abi Thalib berhasil melumpuhkan dan nyaris membunuh lawannya. Ketika pedang diayunkan, tiba-tiba sang lawan meludahi Ali. Ali marah dan tidak jadi membunuh musuhya.

Sang lawan kaget dan bertanya kenapa Ali mengurungkan niatnya membunuh padahal ia sudah tak berdaya? Ali menjawab, tadi ketika hendak membunuhmu, niatku bersih karena Allah. Tetapi setelah diludahi dan timbul rasa geram, niatnya bercampur dengan amarah. Ali takut membunuh karena nafsu, lalu membebaskan musuhnya itu. Mendengar jawaban Ali, sang lawan sungguh takjub, akhirnya dia masuk Islam.

Itulah sifat futuwah Ali. Yakni menunjung tinggi kesatriaan. Sayyidina Ali, setelah menjadi khalifah dan menghadapi konflik politik dengan Muawwiyah, bahkan rela kehilangam amanat kekhalifahannya. Ali menjunjung tinggi moral politik dalam kesepakatan politik dengan pihak Muawwiyah. Demi kemuliaan akhlak, dia ikhlas amanat jabatannya lepas.

Sayyidina Ali sebagaimana teladan Nabi dan para sahabat lainnya memang diajarkan futuwah, menjalani hidup kesatria meski terhadap musuh sekalipun. Futuwah, dijelaskan oleh Ibn Al-Husain As-Sulami, ialah pandangan hidup fata, pemuda yang gagah perkasa dan menjalani pencerahan diri. Kesetiaan Abu Bakar Shiddiq, kejujuran dan keadilan Umar bin Khattab, kekhuyusukan dan kesederhanaan Usman bin Affan, dan keberanian Ali bin Abi Thalib sebagai sahabat maupun khalifah utama penerus Nabi, memancarkan jiwa fata atau futuwah.

Jiwa futuwah juga tercermin dalam keberanian Nabi Ibrahim alihissalam sewaktu muda yang menghancurkan berhala-berhala yang disembah kaumnya. Pemuda Ashabul Kahfi juga menunjukkan jiwa futuwah, sebagaimana dikisahkan dalam Al-Quran surat Al Kahfi ayat 13, yang artinya: “Kami ceritakan kisah mereka kepadamu (Muhammad) dengan sebenarnya. Sesungguhnya mereka itu adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka dan Kami tambahkan kepada mereka petunjuk”.