Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto mengatakan, aktivitas judol tak sekadar buruk bagi aspek sosial maupun norma, melainkan juga dari sisi ekonomi. Perputaran uang yang masif dari sektor judol tak memiliki efek apa pun dalam mendorong perekonomian Indonesia. Selain dari ekonomi secara makro, Eko menyampaikan daya beli masyarakat sebagai salah satu sumber daya penggerak ekonomi pun akan menurun imbas dari judol. Eko memastikan para pekerja yang kecanduan judol tidak akan mampu bekerja secara maksimal. Justeru judol akan membuat masyarakat tidak produktif.
Mirisnya, Pemerintah melalui Menko PMK Muhadjir Effendy melontarkan wacana kontroversial, yaitu memberikan bansos bagi masyarakat yang jatuh miskin akibat judol. Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira Adinegara buka suara terkait wacana tersebut. Bhima mengkritisi wacana pemerintah memberikan bantuan sosial kepada pelaku judol. Menurutnya, jika direalisasikan, maka bansos tidak tepat sasaran. Ada langkah lain yang bisa lebih solutif. Ia menilai judi online termasuk tindakan kriminal. Kurang tepat jika orang yang berkecimpung di aktivitas tersebut mendapat bansos. Pemerintah harus sepenuhnya fokus pada pencegahan. Menurutnya, judi online akan terus ada jika pemberantasan di hulu tidak serius.
Pakar ekonomi Islam yang juga anggota Dewan Syariah Nasional, ustaz Ikhwan Basri dalam salah satu kajiannya di radio Silaturahim mengatakan bahwa sumber utama judi online makin marak ialah sistem kapitalisme yang menghalalkan berbagai cara untuk menghasilkan uang tidak melihat halal atau haram. Bahkan yang mereka sebut sebagai “hiburan” (judi online lewat game), dalam Islam merupakan keharaman dan malah berakhir menjadi petaka.