“Tajuk Rasil”
Jumat, 12 Rabiul Akhir 1445 H/ 27 Oktober 2023
Kejujuran Barang Langka dalam Politik
Oleh: M. Khusnul Khuluq, S.Sy., M.H.
Bersikap benar meskipun tidak ada orang yang melihat. Mungkin, itu pengertian singkat kejujuran. Jadi, kejujuran tidak hanya bagaimana berkata benar. Namun, lebih luas dari itu. Kejujuran melingkupi sikap, pemikiran, dan juga tindakan. Yang akhirnya menjadi karakter. Kejujuran adalah sesuatu yang muncul dari dalam. Kejujuran adalah manifestasi dari alam bawah sadar. Karena itu, jujur tidak bisa dipaksakan. Namun, kejujuran bisa ditanamkan dan bisa dibentuk.
Kejujuran itu barang yang amat penting dalam kehidupan ini. Dalam segala hal. Di manapun. Baik itu di dalam keluarga, di sekolah, tempat kerja, dan di mana saja. Hari-hari ini, kejujuran adalah barang yang amat langka. Apa lagi di dalam politik. Padahal, kejujuran mutlak diperlukan dalam politik. Kita jarang mendengar politisi yang dikenal jujur. Seakan-akan, jujur itu barang haram dalam politik.
Kita rindu dengan kisah-kisah kejujuran dalam politik. Misalnya, pada masa kekhalifahan. Ketika salah seorang tamu menemui khalifah Umar. Ketika akan memulai pembicaraan, sang khalifah berkata, “ini pembicaraan tentang negara atau tentang pribadi? Jika tentang pribadi saya akan matikan lampu minyak ini.” Mengapa lampu minyak harus dimatikan? Karena itu adalah fasilitas negara. Fasilitas umat. Sang khalifah tidak mau menggunakan fasilitas umat untuk kepentingan pribadi. Betapa jujur pemimpin seperti ini.
Kita tidak lagi mendengar kisah-kisah heroik semacam itu. Yang ada, malah berlomba-lomba menggunakan jabatan untuk kepentingan pribadi. Orang-orang menyebut itu dengan istilah “aji mumpung”. Mumpung punya jabatan, harus mengeruk kekayaan sebanyak-banyaknya. Mumpung punya jabatan, harus memperkaya diri sekaya mungkin. Mumpung punya jabatan, semua harus dikuasai. Kalau perlu, kekayaan satu negara dikuasai semua. Bukan lagi menumpuk kekayaan untuk tujuh turunan. Tapi, kalau bisa semua turunan mereka sampai hari kiamat jangan sampai miskin. Mereka takut miskin. Dan sikap takut miskin itu membutakan semua. Membuat kejujuran menjadi barang langka dalam politik.
Masih ingat dengan kisah Abu Nawas? Ketika dia mau diajukan menjadi qadhi menggantikan ayahnya? Itu jabatan prestisius. Tapi dia menolak. Dia pura-pura gila agar tidak diangkat menjadi qadhi. Dia tidak mau mengampu jabatan itu. Mengapa? Salah satu alasannya karena takut tergelincir ke kubangan dosa. Takut lalai. Takut tidak sengaja menggunakan jabatan itu untuk kepentingan pribadi. Kita juga rindu dengan kisah-kisah heroik semacam ini.
Tapi, hari-hari ini orang-orang berlomba merebutkan jabatan. Berbagai jabatan politik. Bukan karena apa-apa. Tapi karena aji mumpung. Jadi, bertapa hebat aji mumpung itu. Sehingga orang-orang berebut untuk memiliki. Aji mumpung bisa digunakan untuk korupsi. Mumpung jadi pejabat. Mumpung ada kesempatan. Mumpung bisa korupsi. Mereka tidak sadar bahwa korupsi itu merugikan banyak orang. Bahkan, yang paling parah adalah korupsi berjamaah. Ternyata tidak hanya shalat saja yang berjamaah. Korupsi juga berjamaah. Bersama-sama. Saling bahu membahu. Tidak perduli itu salah atau benar. Yang penting semua dapat bagian, pasti aman. Ini juga aji mumpung.
Biasanya, korupsi berjamaah itu ketahuan kalau ada yang tidak dapat bagian. Atau bagian dia paling sedikit. Atau ingin dapat bagian paling banyak. Yang menarik lagi, kalau ada yang tertangkap. Ada dua pilihan. Dia buka mulut, sehingga semua anggota jamaah terungkap dan bakal ditangkap. Atau dia mengorbankan diri, tapi minta bagian paling banyak di antara jamaah lainnya. Tidak jadi masalah setahun dua tahun di penjara. Yang penting setelah itu rekening-rekening milik dia gendut mendadak. Banker-banker besi milik dia penuh rupiah............