Agama Islam tentu erat kaitannya dengan konsepsi keadilan, termasuk dalam konteks ini adalah keadilan sosial. Konsep keadilan dalam Al-Qur’an menggunakan terminologi Al-’Adl dan Al-Qisth sebagaimana kalimat “i’diluu, huwa aqrabuu lit-ttaqwa” (berbuatlah adil karena itu lebih dekat dengan taqwa) dalam Surat Al-Maidah ayat 8 dan “kunu qawwamina bi-l qisth” (jadilah penegak-penegak keadilan) dalam Surat An-Nisaa’ ayat 135. Seruan Islam perihal keadilan sosial ditunjukkan dalam aturan redistribusi kesejahteraan. Hal ini dijelaskan dalam Surat Al Hasyr ayat 7 “..supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu”. Selain itu, pembelaan yang tegas kepada mustadh’afiin terlihat jelas pada Qs Al Ma’uun ayat 3. Orang-orang Islam yang mengerjakan shalat (mushalliin), namun abai terhadap mereka yang lapar dan kekurangan dicela Allah sebagai para pendusta agama (mukadzibiin).
Kalau negara lain mengemukakan kemakmuran dan kemerdekaan (prosperity and liberty) sebagai tujuan, maka negara kita lebih menekankan prinsip keadilan dari pada prinsip kemerdekaan itu. Dengan demikian, sangat mengherankan jika kita sekarang lebih mementingkan swastanisasi/privatisasi dalam dunia usaha, daripada mengembangkan rasa keadilan untuk kepentingan rakyatnya sendiri. Seolah-olah kita mengikuti kedua prinsip kemakmuran dan kebebasan itu dengan kehilangan rasa keadilan. Penguasa negeri ini memang sudah lupa bahwa pemerintahan dijalankan untuk melindungi kaum lemah, atau malah merubah tugas dengan menindas kaum lemah?