Namanya Saleh Iskandar Poeradisastra, sering disingkat S.I Poeradisastra. Ia punya nama lain, Boejoeng Saleh. Nama ini, di kalangan seniman pada masa lalu, cukup dikenal. Ia disebut sebagai sastrawan berideologi Marxis-Komunis. Sebagaimana seniman dan sastrawan berideologi kiri lainnya seperti Pramoedya Ananta Toer dan Utuy Tatang Sontani.
Boejoeng Saleh yang lahir di Jakarta pada 25 Desember 1923 aktif dalam Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), organisasi yang menjadi underbouw Partai Komunis Indonesia (PKI). Yang menjadi unik dari perjalanan hidupnya, dia salah satu dari ketiga sastrawan kiri (Pramudya Ananta toer dan Utuy Sontani) memiliki akhir hidup yang mengesankan.
Sebelum wafat, Utuy berwasiat jenazahnya diurus cara Islam. Pram, panggilan Pramoedya Ananta Toer, mengirim putrinya untuk belajar pada Buya Hamka. Bahkan ia memuji kehebatan tauhid ulama asal Minangkabau tersebut. Sementara Boejoeng Saleh, bertaubat sebelum wafat dan dekat dengan tokoh-tokoh Islam di akhir hayat.
Kisah pertaubatan Boejong Saleh dapat dibaca dalam buku “Mengenang Hidup Orang Lain” karya sastrawan terkenal Ajip Rosidi. Di buku itu, Ajip menceritakan ketiga sosok sastrawan dan seniman kiri di atas. Uniknya, baik Pram, Utuy, dan Boejoeng, seperti diceritakan Ajip, pernah merasakan kesulitan ekonomi, sebelum akhirnya ‘direkrut’ oleh Lekra/PKI. Pram bahkan pernah mengetuk pintu rumah Ajip hanya sekadar untuk minta sesuap nasi, karena sudah beberapa hari tidak makan. Dan, ketiganya, di akhir hayatnya terlihat luntur bahkan hilang kekiri-kiriannya.
Kembali kepada S.I Poeradisastra alias Boejoeng Saleh. Sebagai seniman Lekra ia pernah bertugas mengajar di Moskwa Rusia. Sepulang dari negeri komunis itu, ia diangkat jadi Sekjend Baperki (Badan Permusyawaratan Kebudayaan Indonesia), organisasi yang didirikan oleh Siau Giok Tjan yang berideologi kiri. Setelah itu, Boejoeng dibuang ke Pulau Buru.
Di Pulau Buru inilah, kata Ajip Rosidi, Boejoeng mendapatkan hidayah dari Allah. Melalui bimbingan seorang dai yang ditugaskan di pulau itu, Boejoeng akhirnya kembali menjadi muslim dan terlihat taat dalam beribadah. Sebelumnya, di tahun 50-an, kenang Ajip, sastrawan Aoh K. Hadimadja pernah bertanya kepada Boejoeng, “Sebagai Marxis apa saudara percaya akan adanya Tuhan atau tidak?”