Setelah berkuasa selama lebih dari setengah abad, rezim al-Assad akhirnya ditumbangkan para pemberontak yang tergabung dari berbagai elemen di Suriah. Perkembangan ini jadi klimaks terkini dari krisis dan perang sipil di Suriah yang sudah menahun. Namun apa yang menyebabkan Suriah bergolak belakangan?
Di Timur Tengah, jika ada perang dan ramai-ramai, biasanya ada akar yang mengular sampai masa kolonialisme. Yang terjadi di Suriah belakangan bukan pengecualian. Rezim Assad yang dimulai dari Hafez, ayah Bashar Assad diketahui adalah bagian dari kelompok Alawi di Suriah. Mereka kelompok minoritas sebenarnya, hanya sekitar 12 persen dari total populasi Suriah. Penguasaan minoritas itu, merujuk lembaga think tank kawakan Jason Institute for Peace and Security Studies, bermula dari kekalahan Turki Utsmaniyah pada Perang Dunia I. Menyusul kekalahan itu, sejumlah negara Eropa membagi untuk mereka kuasai wilayah Timur Tengah yang sebelumnya dikuasai Utsmaniyah.
Di antara pembagian itu, Inggris memeroleh mandat di Palestina, hal yang akan memunculkan penjajahan berkepanjangan negara Zionis terhadap warga Palestina. Sementara Prancis mendapat mandat di Lebanon dan Suriah yang mulai mereka jalankan pada 1920. Saat itu, sudah mulai muncul nasionalisme Arab yang menghendaki negara mereka sendiri. Mengetahui hal ini, Prancis menjalankan taktik adu domba. Pada 1921, mereka membentuk Pasukan Khusus di Timur Dekat. Mengingat ancaman terbesar atas penjajahan Prancis kala itu datang dari mayoritas Arab-Sunni, pasukan khusus itu banyak merekrut kelompok minoritas, utamanya dari kalangan Druze dan Alawi.
Alawi adalah nama yang disematkan Prancis untuk sekte Islam pengikut Nushairiyah. Sekte ini disebut punya teologi yang berbeda dengan arus utama Islam, baik Sunni maupun Syiah. Karena lama mendapat tekanan dari kekuasaan Islam, Alawi dinilai Prancis mudah dirayu bergabung dalam pasukan mereka. Benar saja, banyak kalangan Alawi bergabung dengan militer Prancis. Ketegangan sektarian semakin berkembang dengan pembentukan Pasukan Khusus, mengingat militer yang didominasi minoritas seringkali menekan gerakan Sunni. Ini berbeda dengan kelompok elit Sunni yang menolak menyekolahkan anak-anak mereka ke militer dengan dalih bahwa hal tersebut sama saja mendukung penjajah. Pada akhirnya, ini membuat kaum Alawi memiliki keuntungan dari segi militer dan pendidikan.
Pada 1955, misalnya, bahkan sembilan tahun setelah Suriah merdeka dari Prancis, 65 persen militer Suriah diisi kalangan Alawi. Statistik ini kemudian membuat banyak juga posisi perwira akhirnya berasal dari golongan tersebut. Selain direkrut, kelompok Alawi juga mendapat keistimewaan lainnya. Mereka diberi wilayah otonomi di kampung halaman mereka di Latakia. Di antara para tokoh Alawi di Latakia, ada seorang bernama Ali Suleyman al-Assad. Julukan Assad yang berarti “singa” itu bermula dari perlawanannya terhadap Turki Utsmaniyah sebelum datangnya penjajah Prancis. Ali Suleyman kemudian mendekat ke Prancis dan sempat mendapat posisi jabatan publik.