“Tajuk Rasil”
Senin, 3 Rajab 1445 H/ 15 Januari 2024
Malari, Investasi dan Undang-Undang Cilaka
Oleh: Farid Gaban (wartawan senior)
Hari ini 50 tahun lalu Jakarta membara. Mahasiswa berdemontrasi turun ke jalan. Demo itu berakhir menjadi kerusuhan, yang belakangan dikenal dengan julukan Malari, atau Malapetaka 15 Januari. (Mahasiswa menuduh, aparat Orde Baru lah yang menyulut kerusuhan untuk mendiskreditkan gerakan mahasiswa). Mahasiswa turun ke jalan untuk menolak investasi asing Jepang kala itu. Kini, setengah abad kemudian, kita bisa melihat ke belakang lebih jernih untuk menilai apakah protes mahasiswa kala itu sahih dan beralasan.
Pelajaran yang dipetik dari renungan itu akan bisa dipakai pula untuk menilai apakah kita layak mendukung atau menolak obsesi investasi ala Omnibus Law (UU Cipta Kerja) di era Jokowi sekarang ini. Setelah protes mahasiswa sukses diredam, Orde Baru melanjutkan program perluasan ekonomi, dengan cara menarik investasi (asing maupun domestik) besar-besaran sampai rezim itu runtuh menyusul Krisis 1998.
Krisis 1998 menunjukkan bahwa investasi asing, yang dibuka lebar lewat deregulasi ekonomi dan keuangan sejak dasawarsa 1980, hanya menyembunyikan keroposnya fondasi ekonomi kita. Ekonomi kita rapuh meski ada pertumbuhan yang tinggi.
Di sisi lain, memicu ketimpangan yang makin besar. Deregulasi investasi menciptakan konglomerat baru, para kroni Soeharto dan kerabatnya, sumber korupsi kolosal. Dan ketika Orde Baru baik secara politik maupun ekonomi, rakyat harus berkorban menanggung bailout dunia perbankan (pada dasarnya membantu para konglomerat). Yang miskin mensubidi yang kaya. Negara terus menyunat subsidi sosial, terutama pendidikan dan kesehatan, untuk bisa menyisihkan cicilan utang akibat bailout, bahkan sampai sekarang, 20 tahun kemudian...............