Listen

Description

‘Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan'. Begitulah bunyi Pasal 33 ayat (1) UUD 1945. Pasal itu mengandung makna bahwa sistem perekonomian Indonesia harus dibangun atas dasar kerja sama dan kebersamaan, bukan semata-mata untuk keuntungan individu atau kelompok tertentu. Secara praksis bentuk perekonomian seperti itu diterjemahkan menjadi koperasi.

Lantas, apa hubungan ayat dalam konstitusi negara tersebut dengan judul Mandi Susu di artikel ini? Memang tidak berhubungan secara langsung, tapi ada konektivitas secara tidak langsung. Para peternak sapi perah yang mandi susu di dua tempat, pekan lalu, ialah anggota koperasi yang dasar geraknya dijamin konstitusi. Karena diatur dalam UUD, mestinya negara ikut bertanggung jawab atas nasib para penghasil susu segar itu. Mereka terpaksa mandi susu dan membuang susu segar hasil perahan sapi mereka untuk memprotes keberpihakan nihil negara atas nasib mereka.

Di Boyolali, Jawa Tengah, para peternak susu sapi menggelar demo dengan aksi simbolis mandi susu di Tugu Susu Tumpah, Boyolali, akhir pekan lalu. Mereka juga membuang 50 ribu liter susu sapi ke sungai, selain membagi sekitar 1.000 liter susu segar ke masyarakat sekitar secara gratis. Para peternak menyirami badan mereka dengan susu yang sudah dimasukkan ke milk can atau wadah untuk menampung atau mengangkut cairan tersebut. Para peternak susu itu memprotes pembatasan kuota susu yang masuk ke pabrik atau industri pengolahan susu (IPS).

Pembatasan kuota susu membuat susu para peternak di wilayah Boyolali tidak terserap pabrik sehingga banyak susu yang terbuang. Ribuan liter susu akhirnya hanya menumpuk di usaha dagang (UD) atau koperasi. Di Boyolali ada sisa kuota 30 ton per hari akibat pembatasan tersebut. Aksi mandi susu dan membuang susu juga dilakukan para peternak di Pasuruan, Jawa Timur. Susu yang mereka buang malah lebih banyak lagi, yakni 70 ribu liter. Perkara yang mereka hadapi sama, yakni pembatasan kuota oleh IPS.

Banyak yang menduga pembatasan kuota susu oleh IPS terjadi karena adanya kuota impor susu dari luar negeri. Selama ini, produksi susu lokal untuk kebutuhan dalam negeri baru sekitar 20%. Sisanya, sekitar 80% kebutuhan susu dalam negeri, berasal dari impor. Harusnya, dengan kebutuhan dan ketersediaan yang jomplang seperti itu, tak perlu ada pembatasan kuota untuk susu produksi lokal. Sesepi apa pun kondisi perdagangan susu, produksi susu lokal mestinya bisa terserap semua. Dengan catatan, baik pemerintah maupun industri itu memang mementingkan produksi dari susu lokal yang bergotong royong di bawah naungan koperasi susu itu.

Ada yang menyayangkan mengapa susu itu dibuang-buang. Ada yang membawa dalil-dalil agama sembari 'menyemprot' mereka yang mandi susu dan membuang susu. "Itu mubazir, tidak punya rasa syukur dan tidak sesuai ajaran agama," kata seorang teman. Ada lagi yang bilang, "Daripada susu dibuang-buang dan untuk mandi, lebih baik dibawa ke daerah Indonesia bagian timur yang anak-anaknya amat jarang mengonsumsi susu. Itu jauh lebih bermanfaat ketimbang dibuang ke sungai dan membikin pencemaran." Namun, cobalah kita merasakan dari sisi peternak. Mereka sudah bekerja keras. Mereka memerah susu tetes demi tetes dengan harapan ada yang membeli susu perahan mereka. Begitu ada pembatasan, ribuan liter susu yang sudah telanjur diperas itu akan basi dan tak bisa dikonsumsi.