Listen

Description

“Tajuk Rasil”
Senin, 10 Rabiul Awwal 1445 H/ 25 September 2023

*Masjid Al-Aqsa*
_Artikel Harian Republika edisi 09 Juni 2011. Oleh: Prof Azyumardi Azra (1955-2022), cendekiawan Muslim._

Mengelilingi masjid yang pernah menjadi kiblat pertama kaum Muslimin dalam shalat, yang menyelinap dalam pikiran dan perasaan adalah kekaguman terhadap arsitekturnya yang unik. Dibangun jauh sebelum adanya semen, masjid ini terdiri atas kubus batu-batu besar, yang entah bagaimana dulu mereka mengangkat dan menyusunnya sehingga sangat kokoh. Bangunan masjid tidak hanya terdiri atas satu lantai dasar, tetapi juga mencakup lantai bawah tanah dengan beberapa ruangan masjid, termasuk ruangan yang dipercayai sebagai tempat Nabi Muhammadﷺ mengimami para nabi lain sebelum Mikraj.

Arsitektur yang sama juga terlihat pada Masjid Qubbah al-Sakhrah, yang mencakup ruang gua yang dilindungi batu menggantung seperti kubah. Inilah tempat yang dipercayai sebagai titik Rasulullah bertolak melakukan Mikraj; kini ada lubang dengan bau wangi yang tersisa di tangan peziarah yang memasukkan tangannya mengingatkan peziarah pada Hajar Aswad di Masjid al-Haram. Juga ada kesyahduan rohani yang dalam ketika membayangkan Rasulullah melakukan Mikraj berangkat dari Masjid al-Aqsa ini. Inilah perjalanan menuju pusat eksistensial yang menggambarkan berbagai pengalaman anak manusia dalam kehidupan masing-masing.

Berkeliling ke berbagai bagian Masjid al-Aqsa dan Qubbah al-Sakhrah, kawasan Kota Tua Yerusalem, tempat kedua bangunan historis ini berdiri adalah oasis keislaman dan sekaligus eksistensial bagi kaum Muslimin Palestina. Bagi kaum Muslimin di seluruh dunia, Masjid al-Aqsa adalah tempat suci ketiga setelah Masjid al-Haram di Makkah dan Masjid al-Nabawi di Madinah. Karena itu, ia juga menjadi tumpuan ziarah, termasuk dari Indonesia yang datang dalam jumlah kian banyak—memadukannya dengan perjalanan umrah.

Muhammad Majid, warga Palestina, pemandu wisata rohaniah yang menemani berkeliling, bercerita banyak tentang kesulitan hidup di Kota Tua Yerusalem. Warga Palestina merupakan ‘penduduk tetap’—bukan warga negara Israel seperti warga Arab Palestina yang tinggal di wilayah utama Israel. Sebagian mereka memiliki paspor Yordania, yang juga kian sulit mereka peroleh.

Warga Palestina di Yerusalem hampir tidak bisa lagi berhubungan dengan mereka yang tinggal di wilayah Tepi Barat; mereka terkepung tembok tinggi yang dibangun penguasa Israel, yang merupakan semacam ‘Tembok Berlin’; atau dalam istilah mantan presiden Amerika Serikat, Jimmy Carter, ‘simbol politik apartheid’ Israel. Mereka yang tinggal di wilayah Tepi Barat sangat sulit masuk ke Kota Tua Yerusalem, terutama untuk menjual hasil pertanian, komoditas, dan produk lain serta mencari nafkah dalam sektor konstruksi dan pekerjaan kasar lainnya. Akibatnya, kondisi ekonomi bangsa Palestina di Tepi Barat kian sulit dari hari ke hari.......