“Tajuk Rasil”
Jumat, 26 Rabiul Akhir 1445 H/ 10 November 2023
Menghargai Jasa Pahlawan
Sejarawan muslim Prof. Ahmad Mansur Suryanegara suatu ketika pernah menuturkan cerita secara lisan tentang peristiwa perang Surabaya.
“Embun pagi masih melekat di setiap permukaan dedaunan pada satu pagi, tanggal 10 November 1945 tepatnya. Belum juga hilang semangat para jama’ah shalat subuh yang berjalan kembali ke rumahnya dari langgar dan surau. Namun kesejukan tersebut tiba-tiba menjadi hilang menyusul bergeloranya perlawanan para kaum muda terhadap serangan pasukan Inggris yangyang diawali dengan pengeboman udara ke gedung-gedung pemerintahan Surabaya, dan kemudian mengerahkan sekitar 30.000 infanteri, sejumlah pesawat terbang, tank, dan kapal perang. Inggris kemudian membombardir kota Surabaya dengan meriam dari laut dan darat.
Upaya penyerangan tersebut di luar dugaan pihak Inggris yang menganggap bahwa Surabaya bisa ditaklukkan dalam tempo tiga hari. Di Surabaya ada para tokoh masyarakat seperti pelopor muda Bung Tomo yang berpengaruh besar di masyarakat terus menggerakkan semangat perlawanan pemuda-pemuda Surabaya melalui siaran radio yang berapi-api, sehingga perlawanan terus berlanjut di tengah serangan skala besar Inggris.
Bukan hanya dari tokoh pemuda saja, tetapi kalangan alim ulama serta kyai-kyai pondok pesantren Jawa seperti KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahab Hasbullah serta kyai-kyai pesantren lainnya juga mengerahkan santri-santri mereka dan masyarakat sipil sebagai milisi perlawanan. Perlawanan rakyat yang pada awalnya dilakukan secara spontan dan tidak terkoordinasi, makin hari makin teratur. Pertempuran skala besar ini mencapai waktu sampai tiga minggu, sebelum seluruh kota Surabaya akhirnya jatuh di tangan pihak Inggris secara de facto. Tapi pertempuran heroik itu semakin membakar semangat bangsa Indonesia di berbagai daerah sehingga menimbulkan perlawanan yang tak kalah sengitnya.”
Peristiwa kedatangan pasukan inggris tersebut hingga hari ini, peristiwa heroik ini kita namai dan peringati sebagai Hari Pahlawan. Tepat sudah 78 tahun berlalu, angka yang sama dengan usia kemerdekaan republik yang kita cintai, Indonesia. “Pahlawan yang setia itu berkorban, bukan buat dikenal namanya, tetapi semata-mata untuk membela cita-cita.” Kutipan dari Bung Hatta ini mempertegas bahwa pahlawan dan kepahlawanan tidak hanya identik dengan orang-orang yang berjuang di medan perang yang bersifat heroik. Makna pahlawan yang tersirat dari pernyataan tersebut ialah pahlawan merupakan orang-orang yang dikenang karena kesetiaannya dalam perjuangan mencapai cita-cita. Cita-cita tersebut tidaklah lain meningkatkan harkat dan martabat bangsa dan Negara Republik Indonesia.
Lalu bagaimana bangsa Indonesia memperingati hari pahlawan? Biasanya seremonial yang menandai rasa hormat dan penghargaan kita kepada para pahlawan yang telah berjasa bagi negara termasuk kita-kita yang kini menikmati alam kemerdekaan dengan suka cita. Menikmati dengan ber-medsos ria di cafe-cafe dengan asik. Oleh karena itu, jangan sampai sikap respek hilang. Penghormatan patut kita kedepankan kepada para pahlawan dan kepada anak cucu mereka. Bung Karno, sang proklamator kemerdekaan RI berujar, rasa hormat kepada pahlawan sebagai wujud sikap rakyat yang berjiwa besar dari sebuah bangsa yang besar.
Dalam sebuah kesempatan menyampaikan pidato yang berapi-api, Bung Karno berkata, “Bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya dapat menjadi bangsa yang besar.” Makna kontradiktif dari ungkapan Bung Karno di atas dapat kita maknai bahwa hanya manusia-manusia berpikiran picik dan kerdil yang tidak menghargai jasa para pahlawan dan menandai sebuah bangsa yang kecil dan kerdil. Oleh karena itu, segenap bangsa Indonesia menempatkan hari pahlawan sebagai momentum istimewa penghargaan atas peran perjuangan putra-putri terbaik ............