“Tajuk Rasil”
Selasa, 3 Rabiul Awwal 1445 H/ 19 September 2023
Politik Beragama
Artikel Hidayatullah.com, Oleh: Kholili Hasib (Aktivis muda Nahdhatul Ulama)
Pada tahun 1935, Muktamar Nadhatul Ulama (NU) di Banjarmasin mengeluarkan keputusan penting berkaitan dengan pembelaan negeri dari ancaman kolonial Belanda. Ditetapkan bahwa bumi Jawa (Nusantara) adalah Negeri Muslim (Dar al-Islam). Keputusan Muktamar ini diambil dengan pertimbangan ada jaminan kebebasan kepada umat Islam mengamalkan Islam di negerinya sendiri. Ketetapan tersebut bersifat “defensif” sekaligus “politis”. Salah satu tujuan keputusan tersebut untuk melindungi tanah air dan bangsa dari ancaman penjajah.
Meskipun Indonesia belum merdeka, keputusan muktamar NU tersebut dapat dikatakan keputusan politik. Sebuah siasat untuk menegaskan identitas dan meneguhkan legalitas. Bahwa mengamalkan Islam di tanah air adalah legal. Ternyata Langkah ini berhasil. Beberapa tahun kemudian, Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari dipilih sebagai qadhi untuk pulau Jawa dan Madura. Belanda tidak mempersoalkan. Dalam beberapa catatan sejarah awal Indonesia, keterlibatan beberapa ulama dalam politik praktis tidak bisa selalu ditafsir sebagai sikap pragmatis. Tetapi sebagai sikap teologis. Dalam politik kenegaraan, cara pandang para ulama sangat dominan dengan pemikiran fikih.
Sebagai contoh, KH. Bisri Syamsuri, Rais ‘am NU sejak 1971 dan termasuk ‘faunding fathers’ NU, pernah menjadi anggota Dewan Konstituante, anggota DPR dari partai NU dan PPP. Bagi KH. Bisri berpolitik adalah media berdakwah. Bukan karena hubburiyasah (ambisi jabatan). Di awal Orde Baru, peneliti Jepang yang bernama Nakamura, menyebut bahwa NU berpikiran radikal. Kemungkinan karena sikap KH. Bisri Syamsuri yang menolak RUU Perkawinan, menolak aliran kepercayaan, dan menolak P4. Tentu saja, penilaian radikal itu karena KH. Bisri Syamsuri sangat konsisten memegang ajaran fikih selama beraktifitas politik. Lebih dari itu, KH. Bisri Syamsuri yang tersohor ahli fikih tersebut sangat teologis.
Sikap politik tokoh seperti sosok ulama seperti KH. Bisri Syamsuri dan KH. As’ad Samsul Arifin sangat berpengaruh. Pada awal Orde Baru pemerintah sangat memperhitungkan pengaruh dan pengikut kedua kiai tersebut. Memang, sejak Indonesia berdiri hingga saat ini pertimbangan agama menjadi sangat penting untuk diperhitungkan. Dalam perjalanan politik Indonesia, selalu ada faksi-faksi yang berbeda; faksi nasionalis, sekular dan religius. Namun, hampir setiap politikus, sekular sekalipun, tetap mempertimbangkan dimensi-dimensi religius. Cara-cara membuang agama biasa dilakukan faksi sekular. Salah satu caranya dengan membuang agama dari politik. Cara ini barangkali cukup mudah................