Seperti lagu yang diputar berulang kali, masalah pajak kembali datang sebagai ujian daya beli masyarakat. Meskipun kembali diterpa kontroversi, sinyal kenaikan Pajak Pertambahan Nilai atau PPN 12% diperkirakan akan tetap terjadi per-1 Januari 2025. Sebagai salah satu sumber pendapatan negara, tak ayal jika publik mulai merasa cemas dengan kenaikan PPN secara berkala ini.
Peningkatan tarif PPN 1% ini kembali menuai perdebatan karena dianggap ‘bukan waktunya'. Apalagi jika dilihat dari proyeksi Indef, bahwa pertumbuhan ekonomi di angka 5% akan sulit tercapai apabila pemerintah nekat menetapkan PPN 12% pada tahun 2025 mendatang. Kebijakan kenaikan PPN 12% dianggap kurang bijak karena adanya deflasi selama lima bulan berturut-turut sejak Mei 2024 silam. Tentunya, penurunan daya beli ini diikuti oleh badai PHK beberapa bulan belakangan. Tidak heran, jika banyak pihak yang mulai resah dan mulai buka suara, baik pakar ekonomi, akademisi, maupun praktisi untuk mengkaji ulang keputusan pemerintah menaikkan tarif pajak ini.
Meskipun hanya naik 1%, namun keputusan ini dinilai perlu ditunda, karena timing kenaikan PPN dianggap membahayakan dan dianggap dapat melambatkan pertumbuhan ekonomi makro. Memang benar, apabila dilakukan dengan bijak, kenaikan PPN ini dapat menjadi salah satu solusi defisit anggaran dan mengurangi ketergantungan terhadap utang luar negeri. Pun dari segi teoritik, PPN dapat menjadi money maker dan mencegah pajak berganda apabila dioptimalkan sebagaimana mestinya.
Ada beberapa pihak yang sedikit optimis apabila melihat kenaikan PPN 11% pada 2022 silam, yang juga disinyalir dapat membebani masyarakat secara ekonomi. Namun, siapa sangka bahwa tarif PPN dianggap dapat menopang krisis ekonomi di masa pandemi. Oleh sebab itu, pemerintah menilai kenaikan PPN 12% sudah melalui pertimbangan kebijakan fiskal yang matang dan akan dikembalikan kepada rakyat melalui Program Keluarga Harapan (PKH), subsidi listrik, BBM, dan program subsidi lainya yang dinilai dapat mensejahterakan masyarakat.
Hanya saja, dibalik optimisnya kenaikan PPN, lagi dan lagi, tarif ini menjadi bayang-bayang menyeramkan bagi masyarakat tertentu, seperti kelas menengah dan pekerja. Kenaikan PPN menjadi 12% memang dapat menjadi jalan keluar defisit anggaran dan meningkatkan penerimaan negara. Namun, penting untuk dicatat, bahwa hal ini belum tentu mengarah pada pemulihan ekonomi karena diikuti oleh deflasi dan PHK. Penting untuk mempertimbangkan kembali kondisi riil masyarakat supaya kenaikan PPN ini tidak membebani dan mempengaruhi ekonomi makro.
Kelas menengah mempunyai peran yang sangat penting dalam mendukung pertumbuhan ekonomi nasional. Namun tahun ini lagi dan lagi, BPS mencatat jumlah warga kelas menengah pun turun lagi sebesar 17,13% dari total populasi. Informasi penting disajikan secara kronologis. Tentunya, bagi masyarakat menengah atau pekerja, kenaikan PPN menjadi 12% dapat menjadi kabar yang saat ini paling tidak diinginkan.