Geger penemuan tujuh mayat di Kali Bekasi, tepatnya di belakang Masjid Al-Ikhlas Jatiasih, Kota Bekasi, Ahad lalu, membuat miris. Mereka ialah anak-anak usia belasan, atau lebih tepatnya remaja, korban tenggelam di Kali Bekasi. Mereka meloncat ke Kali Bekasi untuk menghindari Tim Patroli Perintis Presisi Polres Metro Bekasi Kota yang memantau kawasan tersebut. Mereka diduga akan tawur pada Sabtu dini hari. Sebanyak 15 orang ditetapkan menjadi tersangka terkait dengan peristiwa tewasnya tujuh remaja di Kali Bekasi tersebut.
Duka mendalam tak hanya menyelimuti keluarga korban. Kita juga patut berduka karena mereka sebenarnya korban lingkungan pergaulan yang tidak sehat. Lingkungan yang membuat mereka bergerak ke mana saja, seperti kumpul-kumpul dini hari pukul 03.00 untuk tawur. Mereka berkumpul pada waktu yang tidak lazim. Dini hari ialah waktu raga manusia normal beristirahat, terlelap di tempat tidur. Bukan di jalan, apalagi berencana tawur dengan sejumlah senjata tajam, celurit yang besar-besar nan mengerikan.
Tawur remaja, anak sekolah atau pun remaja antarkampung di Jakarta dan sekitarnya, tak pernah pudar. Malah semakin menjadi-jadi. Mereka tidak sekadar nakal, tetapi juga berani melenyapkan nyawa orang lain dengan senjata tajam. Tantangan bermula di media sosial, saling provokasi. Selanjutnya mereka menentukan titik tawur. Tak hanya itu, mereka menyiarkan tawur secara live di Instagram. Seolah mereka ada kebanggaan bisa berkelahi ramai-ramai dengan cara seperti itu. Fenomena tawur ini juga terjadi di berbagai kota lainnya.
Sejumlah wilayah di Jakarta diketahui juga menjadi 'langganan' lokasi tawur hingga turun-temurun. Mulai kakek sampai cucunya. Dalam satu bulan bisa terjadi tawur antarkampung yang bertetangga di wilayah tersebut. Lingkungan yang tidak sehat, tak ada ruang hijau atau taman, untuk rehat, berolahraga, dan interaksi warga, membuat kondisi lingkungan menimbulkan energi negatif yang menyuburkan sifat destruktif.