Listen

Description

“Tajuk Rasil”
Jumat, 7 Rabiul Awwal 1445 H/ 22 September 2023

*Usman-Harun, Singapura, dan Pulau Batam*
_Disadur dari Harian Republika edisi 13 Februari 2014. Oleh: Alwi Shahab (wartawan Republika sepanjang zaman. Beliau meninggal pada 2020)_

Ketika Singapura menghukum gantung dua prajurit Korps Komando Angkatan Laut (KKO) (kini Marinir), terjadi peristiwa menghebohkan, berupa emosi kemarahan rakyat Indonesia yang mengutuk eksekusi tersebut. Sersan KKO Harun dan Kopral KKO Usman yang tertangkap pada 13 Maret 1965 dieksekusi di tiang gantungan di Changi, Singapura, pada 17 Oktober 1968. Keduanya dituduh bersalah dalam kasus pengeboman gedung McDonald di Orchard Road, pada era konfrontasi RI-Malaysia. Kala itu, Singapura masih bergabung dengan Malaysia.

Pihak hakim menolak tuntutan terdakwa agar diperlakukan sebagai tawanan perang. Perwakilan kita di Singapura, Abdurrahman Ramly, berusaha menghubungi pihak Singapura agar kedua prajurit gagah berani ini tidak dihukum gantung. Namun, upaya itu pupus, Pemerintah Singapura seolah-olah tidak memedulikan protes keras yang dilancarkan hampir seluruh lapisan masyarakat. Presiden Soeharto saat itu pun melakukan berbagai cara untuk menyelamatkan kedua prajurit, minimal hukuman dikurangi menjadi hukuman penjara seumur hidup. Hingga Pak Harto mengutus Sekretaris Militer Presiden, Mayjen Tjokropranoto. Sebagai utusan presiden, Tjokropranoto meminta agar keduanya dibebaskan minimal hukumannya diubah menjadi seumur hidup.

Namun, usaha ini kembali sia-sia. Yang sangat menyakitkan bagaimana Perdana Menteri Lee Kuan Yew begitu memandang rendah kedatangan Sekretaris Militer Presiden, dengan sengaja pergi ke Tokyo, Jepang. Dia menghindar dari Tjokropranoto agar pelaksanaan hukuman mati itu tidak memenuhi penyelesaian seperti diinginkan Indonesia. Bangsa Indonesia boleh bangga, ketika kedua prajurit menjalani hidupnya di tiang gantungan dengan tabah pada pukul 06.00 pagi waktu Singapura. Sebelumnya, keduanya berpesan agar jenazahnya dimakamkan di Tanah Air. Setibanya di Tanah Air, kedua prajurit KKO (Marinir) itu dianugerahi Bintang Sakti dan diangkat sebagai Pahlawan Nasional. Pangkat keduanya dinaikkan satu tingkat.

Dalam perjalanan dari Bandara Kemayoran ke Markas Hankam (di Jalan Medan Merdeka Barat), ratusan ribu masyarakat dari berbagai kalangan berdiri di kedua sisi jalan mengelu-ngelukan jenazah kedua pahlawan Dwikora itu. Saya sendiri saat itu turut menyaksikan kesedihan mereka hingga banyak yang meneteskan air mata. Suasana lebih mengharukan terjadi di Markas Hankam. Jenderal Tjokropranolo yang gagal dalam tugasnya untuk menyelamatkan nyawa kedua prajurit, terlihat terisak menangis sambil memeluk Jenderal AH Nasution. Di Markas Hankam, sejumlah perwira tinggi dari keempat angkatan, termasuk Polri, hadir

Keesokan harinya, ketika kedua jenazah hendak diberangkatkan ke Taman Makam Pahlawan Kalibata, masyarakat luas memberikan penghormatan kepada kedua prajurit ini. Diperkirakan satu setengah juta atau sepertiga penduduk Jakarta kala itu, tumplek ke jalan-jalan yang dilewati iring-iringan jenazah. Pada upacara pemakaman banyak prajurit dan perwira KKO meneteskan air mata. Demikian meluapnya emosi dan kemarahan rakyat pada Singapura. Panglima KKO Mayjen Mukiyat dengan nada emosi saat itu menegaskan, “Kalau diperintah, KKO sanggup merebut Singapura.” Sedangkan, Ketua MPRS Jenderal Abdul Haris Nasution juga tidak dapat mengendalikan emosinya. “Penghinaan lebih dari permusuhan," katanya, dengan penuh kemarahan.

Nasution bahkan mengatakan, dalam masalah kehormatan bangsa, tidak boleh perhitungan-perhitungan dagang dijadikan pertimbangan. Lalu, bagaimana reaksi PM Lee melihat gejolak kemarahan ini? Dia dengan enteng mengatakan kepada Reuters, krisis yang terjadinya antara negaranya dan Indonesia hanyalah sebagai kesukaran yang relatif kecil.

Kembali kepada kedua prajurit KKO itu, mereka adalah sukarelawan-sukarelawan yang diterjunkan ke perbatasan Malaysia dalam era konfrontasi......