Polda Metro Jaya salah mengidentifiksi pelaku pengeroyokan dosen Universitas Indonesia, Ade Armando. Identifikasi dilakukan dengan teknologi face recognition atau metode pengenalan wajah. Nah cara kerja dari teknologi ini adalah memotret tampilan wajah seseorang. Dari potret ini nantinya akan muncul data seseorang yang mengacu pada kartu tanda penduduk (KTP) dan ada 9 titik wajah yang dijadikan acuan kemiripannya. Nah jika ada 8 titik wajah yang cocok, maka dapat diambil kesimpulan 95 persen cocok.
Canggih banget kan?
Tapi data hasil face recognition ini sudah bocor ke sosial media. Kritikan pun menghujani pihak kepolisian karena penetapan tersangka hanya mengandalkan metode pengenalan wajah. Melalui media Twitter, pakar keamanan siber sekaligus pendiri Ethical Hacker Indonesia, Teguh Aprianto gak ketinggalan mengkritik masalah ini. Ia mengatakan proses penyelidikan itu seharusnya tertutup dan data penyelidikan hanya bisa diakses oleh pihak terkait.
Selain itu, masyarakat juga menilai, seharunya pihak kepolisian tidak menjadikan metode pengenalan wajah sebagai satu-satunya acuan untuk penetapan tersangka. Semestinya ada tahapan-tahapan lainnya untuk mengungkap kasus pengeroyokan Ade Armando pada aksi demonstrasi 11 April 2022.
Lantas, seberapa akurat penggunaan alat tersebut? Nama, wajah dan indentitas terduga pelaku yang salah sudah bocor. Gimana? Seberapa besar kerugian korban? Evaluasi apa yang seharusnya dilakukan terkait penggunaan teknologi face recognition? Kita akan cari tahu hal ini lebih lanjut bersama dengan Chairman Lembaga Riset Keamanan Siber CISSReC, Pratama Persadha dan Komisioner Komisi Kepolisian Nasional Poengky Indarti.
*Untuk saran, komentar silakan email ke podcast@kbrprime.id.