Suasana Pemilu makin terasa dan kentara. Di jalan-jalan sudah terlihat berbagai spanduk dan baliho bakal caleg. Keriuhan seputar pemilu juga terjadi di media sosial.
Banyak wajah asing, tetapi tak sedikit juga yang familiar, bisa jadi yang nyaleg berlatar belakang artis, mantan atlet, atau kerabat dari tokoh parpol. Nah, yang saya barusan saya sebut terakhir itu, sering diistilahkan sebagai politik dinasti.
Bagi kamu-kamu yang pernah mengalami beberapa Pemilu seperti saya, hehe, pasti hapal sama frase politik dinasti, sebab selalu muncul tiap Pemilu.
Yang terbaru dan heboh dibahas adalah keluarga Ketua Umum Partai Perindo, Harry Tanoesoedibjo yang kompak nyaleg. Istri dan anak-anak Harry Tanoe nyaleg di beberapa dapil seperti Jakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, dengan nomor 1 atau 2.
Tentunya, keluarga Harry Tanoe bukan yang pertama. Keturunan Soekarno, mulai dari anak, menantu, cucu, sampai cicitnya juga jadi politisi. Demikian pula dengan keluarga SBY, Jokowi, Prabowo, Maruf Amin, dan banyak lagi yang lain.
Menyikapi fenomena ini, rata-rata warganet berkomentar miring. Namun toh tak sedikit yang melenggang ke Senayan dengan memanfaatkan politik kekerabatan.
Ya sah-sah saja tentunya kalau keluarga elit parpol ikut kontestasi politik. Namun, kondisi ini bukan tanpa risiko.
Politik dinasti membuat demokrasi lebih rentan dibajak, karena regenerasi politik mandeg, dikuasai segelintir elit parpol. Masyarakatlah yang kemudian menjadi korban. Politik dinasti berpotensi menghasilkan pemimpin karbitan karena rekrutmennya berbasis kekerabatan.
Nah, bagaimana menyikapi maraknya politik dinasti? Apa yang bisa dilakukan agar tidak mencederai demokrasi?
Kita akan bahas bareng News Editor KBR, Wahyu Setiawan.
*Kami ingin mendengar saran dan komentar kamu terkait podcast yang baru saja kamu simak, melalui surel ke podcast@kbrprime.id