#TheKingOfLipService menjadi trending topik di media sosial Twitter pada Senin, 28 Juni kemarin.
Ramainya tagar ini berawal dari postingan Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) di media sosial Twitter dan Instagram yang menyematkan gelar King of Lip Service alias Raja Membual kepada Presiden Joko Widodo.
Label yang diberikan BEM UI terhadap Presiden Joko Widodo ini pun tak luput dari pro dan kontra. Melansir Detik.com, pihak Universitas Indonesia menganggap kritikan tersebut melanggar aturan. Sehingga pihak kampus memanggil 10 orang mahasiswa yang menjadi bagian dari BEM UI dan DPM UI. Kepala Humas dan KIP UI, Amelita Lusia menjelaskan, mahasiswa harusnya menyampaikan kritikan sesuai aturan yang ada. Namun di sisi lain dia mengklaim UI sangat menghargai penyampaian pendapat di muka umum.
Berdasarkan rilis yang diterima KBR. BEM UI mengindikasikan pemanggilan ini sebagai bentuk pemberangusan kebebasan berpendapat. Akun Instagram BEM UI langsung diserbu beragam komentar baik pro maupun kontra. Mereka menduga hal itu dilakukan barisan pendengung alias buzzer, tanpa menyebut spesifik asalnya.
Konten-konten BEM UI di media sosial menyajikan meme dengan data soal kondisi kebebasan sipil yang dinilai diberangus di Indonesia. Mulai dari represifitas aparat pada massa aksi, kebebasan berpendapat yang dibungkam melalui pasal karet UU ITE, pelemahan KPK, dan adanya intervensi presiden terhadap supremasi hukum.
Apa yang menjadi dasar pelabelan Jokowi sebagai King of Lip Service? Lantas bagaimana seharusnya mahasiswa mengemukakan kritikannya?
Kita akan bincangkan hal ini bersama dengan Ketua BEM UI, Leon Alvinda Putra, dan Pengamat pendidikan Doni Koesoema.
*Kami ingin mendengar saran dan komentar kamu terkait podcast yang baru saja kamu simak, melalui surel ke podcast@kbrprime.id