Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim menyebut ada tiga “dosa” yang ada di sistem pendidikan nasional. Tiga “dosa” itu adalah sikap intoleran, perundungan atau bullying, dan kekerasan seksual. Kamis lalu, Nadiem berjanji akan membasminya dari sistem pendidikan kita.
Kalau kita tilik dari catatan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), ada 51 laporan yang diterima terkait kekerasan seksual di lingkungan pendidikan dalam rentang tahun 2015 hingga Agustus 2020. Perguruan tinggi menduduki peringkat pertama, sebesar 27%, lalu diikuti pesantren 19%, SMA/SMK 15%, SMP 7%, dan TK/SD/SLB 3%. Sementara, Pelaku kekerasan terbanyak adalah guru/ustadz, disusul kepala sekolah, dosen, dan yang terakhir peserta didik lain.
Para korban yang umumnya peserta didik berada dalam kondisi tidak berdaya karena relasi kuasa korban dengan guru/ustaz, dosen, atau kepala sekolah yang dipandang memiliki kuasa otoritas keilmuan dan juga termasuk tokoh masyarakat. Sedangkan hambatan penanganan kasus kekerasan seksual adalah impunitas terhadap pelaku di lingkungan pendidikan yang lebih memberikan perlindungan terhadap pelaku ketimbang korban demi menjaga nama baik institusi.
Masih tinggikah tingkat kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan pendidikan? dan bagaimana penanganannya, sudahkah maksimal? Kita cari tahu hal ini lebih lanjut bersama dengan Mendikbud-Ristek Nadiem Makarim, Psikolog dan pemerhati masalah kekerasan seksual Lita Widyo Hastuti dan Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Retno Listyarti.
*Kami ingin mendengar saran dan komentar kamu terkait podcast yang baru saja kamu simak, melalui surel ke podcast@kbrprime.id