Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kumham) mengungkap hasil survei yang mendapati 80 persen responden setuju aturan pidana mati. Namun, 20 persennya saja dari mereka yang setuju saat hukuman mati itu diberlakukan pada teroris.
Hal ini diungkap Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej. Ia pun mengakui pro kontra terhadap penerapan hukuman mati ini tiada habisnya. Maka melalui revisi Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP), pemerintah mengklaim mengambil jalan tengah atau disebut Indonesia way.
Indonesia way ini disebut-sebut dapat menjadi jalan tengah antara perbedaan pendapat kelompok yang pro dan kontra terhadap hukuman mati di RKUHP. Sebab hukuman mati akan diberlakukan sebagai pidana khusus.
Masih dimasukkannya hukuman mati di RKUHP pun ditentang koalisi masyarakat sipil. Organisasi yang membela hak asasi manusia, Amnesty Internasional pun meminta pemerintah dan DPR RI menghapus hukuman mati tersebut. Vonis ini dianggap bertentangan dan melanggar prinsip kemanusiaan. Sanksi mencabut nyawa seseorang juga dianggap tidak memberikan efek jera.
Seperti apa sih Indonesian way atau yang diklaim sebagai jalan tengah hukuman mati di negara ini? Ada 80 persen dari 100 responden yang diklaim menyetujui hukuman mati. Apakah edukasi mengenai resiko diberlakukan hukuman mati di masyarakat masih kurang? Kita akan bincangkan hal ini bersama dengan Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej, Anggota Komisi bidang hukum DPR RI sekaligus Wakil
Ketua MPR Arsul Sani, dan Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Maidina Rahmawati.
*Kami ingin mendengar saran dan komentar kamu terkait podcast yang baru saja kamu simak, melalui surel ke podcast@kbrprime.id