Belakangan media dan medsos diramaikan dengan pasal-pasal dari Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) yang dianggap nyeleneh. Sebut saja pada pasal 2 yang mengatur soal hukum yang hidup dalam masyarakat. Di mana ada ketentuan mengenai pemidanaan seseorang terhadap perbuatan yang tidak diatur dalam KUHP.
Tak hanya itu, ketentuan Gangguan terhadap Ketenteraman Lingkungan dan Rapat Umum pada pasal 265 juga jadi sorotan. Seseorang dapat dipidanakan denda Rp10 juta karena membuat hingar-bingar atau berisik pada malam hari, atau membuat seruan tanda-tanda bahaya palsu. Bahkan di pasal 429, orang yang bergelandang di jalan atau tempat umum bisa dikenakan pidana denda. Ada pula, pasal 252 yang mengatur hukuman bagi orang yang memiliki kekuatan gaib dengan ancaman hukum 1 tahun 6 bulan penjara.
Sebelumnya, Pemerintah telah menyerahkan draf terbaru Rancangan Kitab Undang- undang Hukum Pidana (RKUHP) ke DPR pada 6 Juli 2022 kemarin. DPR pun akan membahasnya di internal komisi hukum. Namun rupanya, berdasarkan hasil survei dari lembaga Litbang Kompas, 83,9 persen responden di 34 provinsi tidak tahu soal rencana pengesahan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP). Sederhananya, 1 dari 10 orang tidak mengetahui rencana pengesahan RKUHP ini.
Sementara itu, Centre for Strategic and International Studies (CSIS) menyoroti kurangnya partisipasi masyarakat dalam pembentukan dan pembahasan RKUHP. Selain tidak dilibatkan, akses terhadap draf RKUHP juga dianggap sulit. Padahal setiap warga negara memiliki hak konstitusional dalam memperoleh informasi, terlebih lagi suatu rancangan undang-undang yang bersifat fundamental seperti RKUHP.
Bahkan, Peneliti Departemen Politik dan Perubahan Sosial Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Nicky Fahrizal melihat masih lemahnya pemahaman aparat penegak hukum akan isi dari Undang-Undang yang berlaku, hingga membuka resiko kriminalisasi.
Lantas, apa pengaruh penerapan aturan itu bagi masyarakat? Perlu gak sih aturan-aturan seperti ini dibikin? apa urgensinya? Mampukah aturan ini nanti menjawab tantangan zaman? Kita akan bincangkan hal ini bersama dengan Direktur Jaringan dan Advokasi di Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia, Fajri Nursyamsi. Simak juga pernyataan dari Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej dan Wakil Ketua Komisi III Pangeran Khairul Saleh soal hal ini.
*Kami ingin mendengar saran dan komentar kamu terkait podcast yang baru saja kamu simak, melalui surel ke podcast@kbrprime.id